Senin, 20 Juli 2009

BAB IV
PP 55 2007 DAN UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN PESANTREN

A. Motiv Dikeluarkannya PP 55 2007
Angin segar diterbitkannya PP 55 2007, tidak lepas dari perjalanan panjang pasang surut keberpihakan kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Melihat jauh ke belakang secara runut, undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 2 tahun 1989, memposisikan pendidikan keagamaan sebagai pendidikan luar sekolah (PLS) sama dengan pendidikan umum, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan. Lebih rinci penjabaran tentang pendidikan luar sekolah diatas tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) nomor 73 tahun 1991. Konsekwensi logis dari kebijakan itu, jelas menjadikan lembaga keagamaan tidak dapat perlakuan sejajar dari pemerintah, terutama dalam hal hak untuk mendapatkan anggaran.
Kondisi itu berubah seiring disahkannya undang-undang system pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Amanat mendasar yang menjadi inti perubahan adalah isi pasal 15 UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Lebih lanjut isi Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3), UU Sisdiknas 20 2003, mengamanatkan perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Karena mengingat pentingnya penjabaran lebih rinci, untuk mempermudah pelaksanaan secara tekhnis sebagai panduan di lapangan, maka tepatnya pada tanggal 5 Oktober 2007, Produk Hukum yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, ditetapkan oleh pemerintah yang dalam pengelolaannya sesuai dengan PP 55 2007, Pasal 9 ayat 3, dilakukan oleh Menteri Agama.
Akan tetapi secara terselubung, analisa dari banyak tokoh dan opini yang mengemuka pasca terbitnya PP dimaksud menuai hasil yang beragam, tentu dilihat dari sudut pandang yang beragam pula. Dari kacamata ekonomis, hingga sudut pandang politis. Semoga subjektifitas dari pandangan masing-masing kelompok itu akan melahirkan objektifikasi yang bisa diterima oleh banyak kalangan.
Mengutip hasil analisanya Nur Hidayat mengomentari lahirnya PP 55 2007 ini, menurutnya adalah bagian dari produk politik. Karena kebijakan apapun yang keluar dari pemerintah tidak bisa dilepaskan dari agenda dan kepentingan penguasa. Biasanya hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekadar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan.
Sejarah telah membuktikan bahwa peran pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah hal yang utama dan pertama dari keseluruhan peran yang ada, selain sebagai lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya.
Dalam konteks inilah pesantren harus menghitung secara cermat segala konsekuensi dari implementasi PP 55 2007. Saat ini kita belum tahu apakah peraturan tersebut bakal baik atau tidak bagi eksistensi pesantren di masa depan. Akankah mendorong pengembangan peran pesantren secara optimal atau justru mereduksi perannya sekadar sebagai lembaga pendidikan. Lebih parah lagi perannya sebagai lembagaa pendidikan dikendarai untuk penguatan kepentingan penguasa.
Pesantren memang mempunyai potensi besar untuk menjadi rebutan penguasa dan atau kelompok elit yang ingin berkuasa. Selain simbol Islam yang melekat pada diri pesantren, juga karena kuantitas pesantren yang begitu banyak bertebaran di nusantara ini dengan basis massa-nya yang mudah diarahkan hanya dengan kekuatan pengaruh dan kharisma kiai-nya. Kepentingan pengerahan massa ini, sesuai dengan konteks pemilihan saat ini, yaitu pemilihan langsung di setiap moment pemilihan apapun terutama pemilihan presiden. Mungkin saja bentuk pengayoman pemerintah melalui kebijakannya, berharap bisa dapat timbal balik jasa agar dapat dukungan dari kalangan pesantren terutama kiai-nya. Atau minimal mewacananya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa pemerintah saat ini peduli terhadap pesantren.
Selebihnya yang mungkin akan menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang, adalah ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan eksekusi kewenangan pemerintah serta birokratisasi dan intervensi kurikulum pesantren. Terkait dengan hal ini, biasanya Negara akan menempuh segala cara untuk terus mengontrol berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang berkembang dalam masyarakatnya. Memperketat birokrasi, memperbanyak peraturan perundang-undangan, mendikte kurikulum, menerapkan sistem akreditasi, dan membuat skema subsidi merupakan beberapa cara yang sering digunakan oleh negara dalam upaya mengontrol aktivitas pendidikan masyarakat.
Kontrol negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui empat cara, diantaranya :
1. Sistem pendidikan diatur secara legal.
2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas.
3. Penerapan wajib pendidikan.
4. Reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu.
Kehawatiran yang muncul kemudian, bagaimanakah eksistensi pesantren dalam konteks politik saat ini. Dalam konteks global, eksistensi pesantren sempat menjadi perbincangan hangat menyusul maraknya aksi teror di berbagai belahan dunia. Ketika Bom Bali yang konon dirancang Amrozi cs meledak pada tahun 2002, pesantren pun sempat dicurigai sebagai sarang teroris. Diduga, dalam kaitan itu pulalah banyak Negara asing sekuler menjanjikan bantuan pendidikan kepada pemerintah Indonesia. Meski menyatakan tidak ingin melakukan intervensi kurikulum, tapi secara terselubung saat itu berharap pendidikan Indonesia dapat meredam potensi radikalisme.
Dalam konteks nasional, upaya pemerintah untuk melakukan pendekatan dan menjalin hubungan yang harmonis dengan pesantren, bisa jadi dioreintasikan untuk mencari dukungan massa dalam rangka memperkuat dan memperpanjang masa kepemiampinan penguasa saat ini.
Dan dalam konteks lokal, penyelenggaraan pendidikan seharusnya merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah seiring penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Tetapi, dalam praktiknya, pendidikan merupakan sektor yang paling alergi terhadap penerapan desentralisasi. Pemerintah justru menjadi pelopor lahirnya berbagai kebijakan bernuansa soft centralization, seperti kebijakan ujian nasional dan penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi.
Lebih lanjut kemudian, penerapan PP 55 2007 akan membuat pesantren berada di simpang kepentingan antara pemerintah pusat, propensi, dan pemerintah daerah sebagai pemilik sah kewenangan atas penyelenggaraan pendidikan.
Respons kalangan pesantren terhadap PP 55 2007 tidak bisa dilepaskan dari ketiga aras kepentingan tersebut. Artinya, akomodasi pemerintah terhadap keberadaan pesantren dalam sistem pemerintah tetap harus dibaca secara kritis dan objektif. Tanpa sikap kritis, pesantren akan terjebak skenario penjinakan yang memicu polarisasi di kemudian hari. Di sinilah keluwesan pesantren dalam merespons perubahan dan tantangan zaman kembali diuji. Dengan prinsip slogan pesantren yang sempat disebut sebelum ini "menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik", kalangan pesantren dituntut merumuskan strateginya sendiri dalam merespons peluang yang penuh dengan ranjau politik ini.
Dalam kaitan ini, kalangan pesantren perlu duduk bersama untuk merancang visi bersama tentang format masa depan pesantren yang ideal tanpa terjebak hegemoni atau semangat konfrontasi. Dengan kondisi kita saat ini, tentu kalangan pesantren merasa kesulitan dari manakah langkah besar itu harus dimulai. Setidaknya kalangan pesantren perlu melakukan respon antisipatif demi menjaga karakteristik dan cirri khasnya, karena menurut Aceng Abdul Azis, peraturan tersebut sarat dengan rencana formalisasi kelembagaan, serta sentralisasi manajerial yang berpotensi mereduksi kemandirian lembaga pendidikan Islam.
Selain itu lanjut Aceng, pemerintah hendaknya tetap menjaga karakteristik asli madrasah atau pesantren yang selama ini telah berkembang optimal di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, operasionalisasi PP 55 2007 hendaknya tetap menampung aspirasi para penyelenggara pendidikan Islam sehingga tidak melahirkan kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif.
Regulasi pemerintah diharapkan makin positif bagi proses pemberdayaan pendidikan pesantren, dan berupaya memberikan jalur-jalur alternative bagi peningkatan mutunya. Keluarnya PP 55 2007 merupakan prestasi politik pendidikan yang harus mendapatkan apresiasi dari para penyelenggara pendidikan Islam. Oleh karena itu, sebaiknya PP tersebut segera disosialisasikan kepada masyarakat agar mendapatkan respons yang akan menjadi pertimbangan Departemen Agama dalam menyusun kebijakan pendidikan ini.
Pendidikan Islam memang sangat membutuhkan perlakuan khusus, setelah terlalu lama ditinggalkan pemerintah. Akan tetapi implementasi kebijakan pendidikan Islam hendaknya seiring dengan keinginan masyarakat. Semoga diterbitkannya PP 55 2007 adalah bagian dari perhatian khusus dari pemerintah dan menjadi keinginan dari masyarakat secara umum.
Motivasi terselubung lainnya, adalah karena keinginan suci pemerintah untuk memperlakukan sama antara berbagai model pendidikan yang ada. Terlebih penerimaan hak dan kewajiban yang perlu didapat dari pemerintah, baik yang bersifat material dan non material. Karena fakta selama ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau tidak, secara filosofis sebenarnya pendidikan pesantren sama saja dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak bangsa menjadi insan paripurna atau menjadi warga Negara yang baik, sama seperti lembaga pendidikan umum lainnya.
Sikap itu, adalah merupakan langkah pemerinatah untuk menebus dosa atas marginalisasi yang dilakukan terhadap pesantren selama ini. Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta. Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala.
Sekarang negara harus menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan, sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa.
Aktualisasi PP 55 2007 ke depan akan menunjukkan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Peraturan ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan.

B. Sasaran Revitalisasi PP 55 2007
Sejujurnya yang menjadi target revitalisasi pendidikan sesuai amanat PP 55 2007 ini, adalah pendidikan keagamaan dari semua agama yang ada di nusantara ini. Pendidikan keagamaan ini, diasumsikan sebagai kreasi budaya nenek moyang kita, wujudnya sangat orisinil, ansih sebagai bentuk pendidikan berbasis masyarakat. Pendidikan ini tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Proses Penyelenggaraannya bisa melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Lebih jelas berikut nama model pendidikan keagamaan dari lintas agama yang ada, antara lain :
1. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
2. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
3. Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
4. Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
5. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
6. Shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
Lebih spesifik lagi sesuai dengan kajian tulisan ini, sasaran yang akan direvitalisasi oleh peraturan pemerintah ini meliputi tiga model pendidikan yang dalam hal ini dibahas dari pasal 14 sampai dengan pasal 26. Beberapa pasal itu dikelompokkan menjadi tiga paragrap,
1. Membahas masalah pendidikan diniyah formal
2. Membahas pendidikan diniyah nonformal
3. Mengatur masalah pesantren.

C. Isi Rekomendasi PP 55 2007
Tela’ah lebih rinci terhadap keseluruhan isi PP 55 2007, perlu diklasifikasi lebih jelas lagi beberapa pasal yang isinya bermuatan untuk merevitalisasi pendidikan pesantren. Klasifikasi rincian itu diantaranya;
1. Kesempatan untuk dapat bantuan sama seperti lembaga pendidikan lain.
Rekomendasi ini mengacu kepada, PP 55 2007, Pasal 12 ayat 1, isinya adalah “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan”.
Penjelasan dari pasal ini adalah, “Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan”.
Ke depan posisi pesantren salaf akan berdiri sejajar dengan lembaga pendidikan lain. Tidak ada alasan untuk menganak tirikan pesantren lagi. Hak yang akan didapat pesantren dari pemerintah terutama dalam hal finansial akan sama seperti hak yang didapat oleh pendidikan umum. Terlepas apakah hak finasial itu dari pemerintah daerah, propensi maupun pemerintah pusat.
Empat unsur penting isi dari rekomendasi pasal di atas, yang kemungkinan ke depan akan terberdayakan, diantaranya :
a. Pendidik
b. Tenaga Pendidikan
c. Dana
d. Sarana dan prasarana
2. Pengakuan yang sama pelajar di pesantren dengan di lembaga pendidikan lain
Penyamarataan posisi ini, sesuai dengan isi Pasal 11, tiga ayat sekaligus, ayat 1, 2, dan 3. Isisnya adalah :
Ayat 1, Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
Ayat 2, Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ayat 3, Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
Angin segar keleluasaan santri di kalangan pesantren untuk bisa berinteraksi dan bersinergi atau bahkan berkompetisi dengan pelajar dari lembaga pendidikan lain, akan benar-benar dirasakan oleh semua santri ke depan sesuai dengan janji yang tersurat dalam tiga pasal di atas.
Tiga point penting yang mengangkat posisi santri menjadi sederajat dengan kalangan pelajar lain, adalah santri yang sedang menempuh sekolah di pesantren bisa pindah ke lembaga pendidikan lain yang sejenjang, dan lulusan pesantren ke depan juga bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang di atasnya di luar lembaga pendidikan pesantren dengan status sah dan diakui oleh pemerintah.
Kemungkinannya juga out put lulusan pesantren ke depan mempunyai hak yang sama untuk merebut dan bersaing untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Termasuk berebut menjadi abdi negara di lingkungan lembaga dan kedinasan milik pemerintah.
3. Pengakuan yang sama Pendidik di pesantren dengan di lembaga pendidikan lain
Pengakuan yang sama anatra pendidik di pesantren dengan di lembaga lain, diatur sesuai denagan Pasal 26, Ayat 1, isi ayat itu adalah “Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.
Sinergi antara pelajar di pesantren dengan di luar pesantren-pun akan tercipta karena lulusan pesantren yang layak juga bisa mengajar di lembaga pendidikan luar pesantren. Tentu begitu juga sebaliknya. Ada simbiosis mutualis, saling mengisi beberapa kekurangan yang ada. Pola managerial yang bagus. Bangunan sistem yang menciptakan begitu pentingnya arti kebersamaan. Dikotomi dan ego dari masing-masing model kelembagaan pendidikan yang ada, besar kemungkinan ke depan juga akan terminimalisir
4. Karakter & kekhasan ciri pesantren akan tetap dijaga.
Pasal 12, ayat 1 berisi tentang jaminan penjagaan dan perlindngan terhadap karakter dan ciri khas pesantren. Bunyi pasal itu, adalah “Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional”.
Kekhawatiran banyak tokoh yang pesimis disahkannya PP 55 2007 ini, bakal akan mereduksi karakter dan ciri khas pesantren akan terjawab oleh isi pasal 12 ini, yang menyuratkan perlindungan penuh dari pemerintah. Melihat pelaksanaan pendidikan pesantren selama ini, hal-hal yang prinsipil-pun tidak ada yang bertentangan dengan produk hukum pemerintah apapun namanya. Bahkan berjalan seiring dengan tujuan suci pendidikan nasional kita.
Kalaupun ada sedikit pergeseran itu wajar, sebagai konsekwensi logis dari perberlakuan peraturan baru. Dan pergeseran itupun menjadi keniscayaan sebagai upaya perbaikan model pendidikan pesantren agar tidak stagnan – itu-itu saja – yang terkesan jalan di tempat. Tuntutan zaman saat ini-pun sepertinya meminta agar pesantren beserta lulusannya bisa berdiri sejajar dengan lulusan dan lembaga pendidikan lainnya.
5. Menjanjikan terjadinya harmonisasi antar pelajar lintas pemeluk agama
Ayat 1, Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
Ayat 2, Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
Sikap optimisme akan terjalinnya hubungan yg harmonis antar pelajar lintas agama ke depan, dijanjikan oleh isi Pasal 5 ayat 1 dan 2. Bunyi ayatnya :
Pembangunan mental sebenarnya adalah hal terpenting dari tujuan pendidikan. Dan diutusnya nabi Muhammad-pun sebenarnya hanya untuk menyempurnakan akhlak ummatnya. Kesempurnaana akhlak akan tercipta bila mempunyai kecerdasan mental.
Beberapa bukti riil cerdas secara mental adalah mempunyai sikap berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. Dan bukti tertinggi adalah bisa menjalin hubungan harmonis dengan orang lain. Terlepas apakah mereka itu pemeluk satu agama atau pemeluk agama lain.
Dengan harmonisasi hubungan, kedamaian akan tercipta. Suatu keadaan yang pasti diinginkan oleh semua orang. Semuanya akan terasa indah dengan kedamaian. Sekaligus hal ini akan menepis klaim dan opini selama ini, yang menganggap pesantren sebagai sarang teroris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar