Senin, 20 Juli 2009

TUGAS AKHIR KULIAH


REVITALISASI PENDIDIKAN PESANTREN
(Kajian Tentang PP Nomor 55 Tahun 2007)

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. ABD. HARITS, M. Ag

Oleh :
YUDIK AINUR RAHMAN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL SURABAYA
2009
ABSTRAK


Yudik Ainur Rahman, 2009. Revitalisasi Pendidikan Pesantren (Kajian Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007).


Kata Kunci: Revitalisasi, Pendidikan Pesantren, PP 55 2007.

Menyimak dinamika perjalanan pendidikan pesantren dari masa ke masa, selain unik dengan ciri khasnya yang tampil beda, juga selalu menarik untuk terus dikaji, terlebih pasca diterbitkannya PP Nomor 55 Tahun 2007, tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Ingin mengetahui lebih jelas seputar Peraturan Pemerintah dimaksud dari segala aspek. Dari sisi motivasi dikeluarkannya, isi yang direkomendasikan, dan sasaran yang akan diberdayakan. Maka menarik sekali untuk melakukan pengkajian.
Melalui kajian kepustakaan, yaitu dengan membedah langsung isi PP ini dengan menjadikan literature lain yang dianggap penting sebagai refrensi, maka jawaban yang bisa dikemukakan dari rumusan masalah di atas, secara general adalah pesantren ke depan akan menempati posisi dan mendapat perlakuan yang sama/sejajar dengan lembaga pendidikan lain yang ada.
Lebih jelas, penempatan posisi yang sama itu dalam hal kesempatan untuk bisa dapat bantuan sumber daya pendidikan dari pemerintah, yang dalam ha ini meliputi; pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Proses pemberiannyapun dari pemerintah akan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan di semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Hanya saja kehawatiran bersama yang perlu diantisipasi terutama oleh pemerintah, sebagai bentuk respon dari opini sebagain tokoh yang menganggap terbintnya PP ini karena tendensi politis, yaitu ciri dan karakter pesantren, bagaimana ke depan tetap ada dan diaga, kalau perlu dilestarikan sebagai bentuk penghormatan terhadap kreasi pendidikan karya nenek moyang kita, yang hingga sekarang diakui sebagai model pendidikan yang bercorak khas Indonesia.
SAMPUL
HALAMAN PERSETUJUAN
ABSTRAK
DAFTAR ISI

BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
D. Definisi Istilah
E. Alasan Memilih Judul
F. Metodelogi Penelitian
G. Tinjauan Pustaka
H. Sistematika Pembahasan

BAB II : Revitalisasi Pendidikan
A. Pengertian Revitalisasi
B. Macam dan Prinsip Revitalisasi
C. Revitalisasi dalam Konteks Pendidikan
D. Unsur-unsur Revitalisasi Pendidikan
E. Sasaran dan Target Revitalisasi Pendidikan

BAB III : Pendidikan Pesantren Salaf
A. Pengertian Pendidikan Pesantren Salaf
B. Dikotomi Oreintasi Pendidikan Pesantren
C. Tipologi Pendidikan Pesantren Salaf

BAB IV : PP 55 2007 dan Upaya Revitalisasi Pendidikan Pesantren
A. Motiv dikeluarkannya PP 55 2007
B. Beberapa Unsur Sasaran Revitalisasi PP 55 2007
C. Isi Rekomendasi PP 55 2007

BAB V : Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran-saran

BIBLIOGRARI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hampir tidak terbantahkan, keberadaan pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di nusantara ini, yang bercirikan khas Indonesia. Walaupun tidak diketahui secara pasti sejak kapan munculnya pesantren, namun para sejarawan hampir saja sepakat menyatakan pesantren muncul sekitar ahir abad ke-18 dan banyak berdiri di rentang abad ke-19, jauh sebelum lahirnya negara Indonesia, dan bahkan sebelum munculnya organisasi massa Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Spirit didirikannya pesantren saat itu lebih dikarenakan sebagai upaya pembebasan dari belenggu keterbelakangan pendidikan dan sosial ekonomi sekaligus juga dakwah untuk mensyi'arkan agama Islam.
Penyiar (missionaris) dakwah Islam itu adalah Walisongo sekitar abad ke-13 M. Mereka melakukan metode pendekatan dakwah Islam dengan cara beragam, ada yang membangun koneksi lewat jalur perdagangan, yang lebih lanjut kemudian jaringan itu dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam. Ada pula yang melakukan pendekatan dengan cara menikahi wanita keturunan pribumi asli. Hebatnya lagi strategi dakwah yang dilakukan Walisongo, mampu mengadaptasikan nilai-nilai Islam dengan khazanah kebudayaan nenek moyang Indonesia pra-Islam.
Contoh yang bisa diketengahkan adalah pembelajaran dengan model pesantren. Sebenarnya hal itu sudah ada pada masa Hindu. Hanya waktu itu ummat Hindu lebih mengenal dengan sebutan Mandala. Mandala adalah sebuah asrama bagi para pertapa atau pelajar dari agama siwa yang terletak di tengah-tengah hutan yang dipinpin oleh seorang dewa guru. Jadi pesantren oleh banyak kalangan dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk mandala pada masa Hindu.
Sekitar tahun 1910 – 1940 pesantren dihadapkan pada masa di mana harus berjuang untuk merebut kemerdekaan, pesantren tampil sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pesantren-pesantren yang muncul pada masa ini banyak bertebaran di kampung-kampung dan merupakan respons atas hegemoni kolonial yang tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan hak-hak dasarnya, antara lain pendidikan. Antikolonialisme ini membangkitkan pertumbuhan pendidikan agama di bawah kepemimpinan dan bimbingan pesantren dan secara konsisten para kyai kampung melakukan konfrontasi budaya dengan kaum penjajah saat itu.
Di awal Indonesia merdeka, masyarakat pesantren belum sepenuhnya terbebas dari semangat konfrontasi dengan budaya Barat, Karena penyelenggaraan hidup berbangsa oleh pemerintahan Indonesia belum bisa mengganti sistem Belanda yang telah mapan, termasuk sistem pendidikan. Setelah resmi terbentuk Departemen Agama pada 3 Januari 1946, lembaga ini secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama untuk mengusahakan terbentuknya suatu system pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Walhasil ada tiga jenjang pendidikan system madrasah yang diberlakukan pemerintah, diantaranya; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah Pertama, dan Madrasah Tsanawiyah Atas.
Pada masa orde baru, bersamaan dengan dinamika politik dimana pemerintah membutuhkan dukungan masyarakat pesantren, mulailah terjadi interaksi sosial antara pemerintah dan pesantren. Pemerintah sedikit menaruh perhatian kepada dunia pesantren, dan masyarakat pesantren-pun memanfaatkannya juga dengan berusaha memperoleh hak pembiayaan dari anggaran belanja negara. Pada tahun 1980-an, oreintasi peran sosial pesantren makin jelas yaitu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat. dinamika pesantren mengalami pasang-surut seiring dengan perubahan lokal, nasional maupun global. Di akhir masa orde baru, pesantren memainkan peran penting dalam penguatan masyarakat sipil, melalui jaringan alumninya. Peta jaringan pesantren sangat beragam, pendirian ornop (organisasi nonpemerintah) yang berafiliasi secara langsung atau tidak dengan pesantren dalam melakukan dialog antara tradisi keilmuan pesantren dengan komunitas minoritas lokal, penguatan gender dan memperluas gagasan-gagasan pluralisme, jaringan membentuk komunitas politik, dan kerja-kerja sosial bersama komunitas petani, buruh dan nelayan.
Sementara di era terkini, era dimana perkembangan tehnologi dan globalisasi makin mengemuka, keberadaan pesantren juga mampu mengikuti trend actual perkembangan zaman. Pesantren sudah mampu berdiri sejajar dengan lembaga formal umum negeri milik pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyak tampilnya para alumnus pesantren di tengah masyarakat sebagai pembawa obor dan penggerak laju pembangunan. Mereka tampil dalam berbagai panggung baik sebagai tokoh agama, da'i, akademisi, pengusaha hingga politisi.
Diskripsi dinamika perjalanan pesantren sejak sebelum kemerdekaan hingga sekarang, tidak bisa digeneralisasi bahwa setiap pesantren bisa berbuat seperti itu. Ternyata ada sebagian kecil dari pesantren yang ada saat ini, masih belum terberdaya dan hingga sekarang menganut sistem lama, dalam banyak hal, semisal fasilitas dan kurikulum yang diberlakukan.
Dilihat lebih jauh, sesuai perkembangannya pesantren masa kini mempunyai ragam model dan tipologi tersendiri yang satu dengan yang lain tidak sama. Banyak tokoh mengklasifikasinya menjadi tiga macam, diantaranya; pesantren tradisional (salaf), pesantren modern (khalaf), dan pesantren semi-modern atau semi-salafi. Setiap pesantren selalu memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dengan pesantren-pesantren yang lain.
Bahkan dekade terakhir ini, sebagian tokoh ada yang membagi tipelogi pesantren menjadi empat macam, diantaranya
1. Pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut salafi.
2. Pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren modern.
3. Pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya diasramakan 24 jam.
4. Pesantren yang tidak mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama.
Spesifikasi kajian ini hanya akan memfokuskan kepada tipologi pesantren yang pertama, yaitu pesantren salaf, karena model pesantren ini yang menjadi sasaran pemberdayaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007. Lebih jauh PP dimaksud akan dilihat melalui teori Revitalisasi. Dalam hal apa saja upaya PP dimaksud akan bisa memberdayakan keberadaan pesantren salaf ke depan?, Kemungkinan wilayah sentuhan yang akan diberdayakan, meliputi oreintasi kerja produk lulusannya, kesejahteraan pengelola dan dewan guru-nya, administrasi dan managerial yang digunakan, fasilitas dan infrastruktur sebagai tempat pembelajaran, dan pengakuan masyarakat dan negara.

B. Rumusan Masalah
Mengacu kepada latar belakang masalah di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dijadikan fokus kajian tulisan ini lebih jauh, diantaranya :
1. Apa sebenarnya spirit historis dikeluarkannya PP nomor 55 tahun 2007 ?
2. Apa saja rekomendasi penting dari isi peraturan dimaksud untuk revitalisasi pesantren ?.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini, adalah :
1. Untuk mengetahui dan menelusuri lebih dalam spirit historis dikeluarkannya PP nomor 55 tahun 2007. Lebih jauh sekaligus tentu dikaji pula beberapa unsur yang melatar belakangi dikeluarkannya peraturan dimaksud dari segala aspek.
2. Untuk mengetahui beberapa rekomendasi penting dari isi peraturan dimaksud untuk revitalisasi pesantren. Upaya mengetahui rekomendasi itu akan kami lakukan berbagai macam analisa.

D. Kegunaan Penelitian
Sementara kegunaannya, adalah :
1. Untuk mengawali pengkajian tentang pendidikan pesantren dan PP nomor 55 tahun 2007, dalam bentuk tesis. Semoga lebih lanjut akan bisa menjadi karya satu buku. Karena sepanjang yang penulis ketahui, tulisan tentang PP dimaksud hanya ada dalam bentuk artikel, itupun sangat terbatas sekali.
2. Diharapkan akan membantu pengasuh pesantren salaf, beserta staf pengelola yang lain, termasuk para santrinya dalam rangka mengetahui lebih jauh, apa, bagaimana, dan seperti apa sebenarnya PP nomor 55 tahun 2007 itu.
3. Diharapkan berguna untuk memperlancar agenda pemerintah dalam rangka mensosialisasikan PP nomor 55 tahun 2007 kepada seluruh masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi masyarakat dari kalangan pesantren, terutama pesantren-pesantren salaf yang berdekatan dengan daerah penulis.
4. Sebagai tambahan memperkaya aneka macam wacana dan khazanah ilmu pengetahuan tentang pendidikan Islam, terutama pendidikan pesantren, untuk anak bangsa Indonesia.
5. Secara khusus kegunaan untuk diri penulis adalah selain syarat untuk bisa dapat gelar Magister, juga sebagai proses pembelajaran agar makin cakap melakukakan penelitian apapun yang lebih penting dan aktual ke depan.

E. Definisi Istilah
1. Revitalisasi
Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata “vital” bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan upaya atau usaha. Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan perbaikan (pementingan) dari beberapa kekurangan yang yang ada dan diketahui sebelumnya.
Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering digunakan untuk hal-hal yang tidak nampak secara kasat mata. Seperti paradigma, konsep dan yang lain-lain.
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan dialami oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di lingkungan pendidikan dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran menuju perbaikan tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seperti yang diinginkan pendidik.
Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau pembinaan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik menuju kepribadian yang utama.
Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.
3. Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Maksud dari kata "pesantren" di redaksi judul tulisan ini, adalah lebih mengarah kepada pesantren salaf. Atau kata lainnya, bisa juga disebut pesantren tradisional.
Lebih khusus, secara singkat pengertian dari psantren salaf adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam yang murni sesuai dengan ajaran nabi Muhammad Saw.
4. PP nomor 55 tahun 2007
Peraturan ini berisi tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Sesuai isi pasal 1 yat 1 dan 2, yang dimaksud Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Dan pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.

F. Alasan Memilih Judul
1. Alasan obyektif
a. Karena terdorong untuk ikut serta memberitahukan kepada khalayak umum bahwa ada peraturan pemerintah baru yang akan diberlakukan di negara kita, yaitu PP nomor 55 tahun 2007. Isinya adalah tentang upaya pemerintah memberi pengakuan setara kepada pendidikan pesantren dengan pendidikan umum, dalam hal anak didik yang dikeluarkannya (lulusannya), kesejahteraan yang harus didapat oleh pengelolanya, dan lain sebagainya.
b. Alasan lain karena penulis menganggap bahwa kajian tentang PP nomor 55 tahun 2007 masih sangat aktual dan dimungkinkan banyak elemen yang tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. Dari itu penulis berharap semoga hasil karya ini keseluruhan akan bisa ikut memfasilitasi kepada masyarakat yang berkeinginan untuk tahu.
2. Alasan subyektif
a. Karena masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini bagi penulis sangatlah relevan dengan konsentrasi yang penulis tempuh, yaitu konsentrasi Pendidikan Islam.
b. Penulis juga berkeinginan bisa ikut memberi sumbangsih dalam rangka meramaikan khazanah pemikiran seputar pendidikan Islam di Indonesia.

G. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Biasanya upaya pencarian data dalam metode ini dengan cara, pengamatan, wawancara, dan atau penela'ahan dokumen. Cara yang ketiga ini, yang akan banyak digunakan karena sesuai dengan objek yang akan ditela'ah.
Metode ini bisa disebut juga metode kepustakaan. Dalam metode ini, setidaknya ada empat studi yang penting diketahui:
1. Peneliti berhadapan langsung dengan teks dan data angka dan bukannya dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang atau benda-benda lain.
2. Data pustaka bersifat siap pakai.
3. Data pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan.
4. Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dalam penelitian ini biasanya data yang dikumpulkan, dianalisis sesuai tradisi analisis isi, juga didalamnya menggunakan pendekatan analisis konsep. Dalam analisis seperti ini, diawali dengan menelusuri sedalam-dalamnya asumsi pemerintah mengeluarkan PP nomor 55 tahun 2007, dilanjutkan dengan menganalisa dan mendiskripsikan isi peraturan dimaksud dan menjelaskan dalam hal apa saja PP dimaksud dimungkinkan ke depan akan memberdayakan keberadaan pesantren salaf.
Agar analisis yang dilakukan membuahkan hasil yang akurat dan terhindar dari kekurangan yang berlebihan, maka bahan utama yang akan dikaji langsung adalah PP nomor 55 tahun 2007 beserta pembahasannya dan refrensi lain berupa buku, artikel, opini, makalah yang berkenaan denagn kajian dimaksud sebagai bahan pendukung.

H. Tinjauan Pustaka
Pesantren, sejak lahir hingga saat ini selalu menarik untuk dikaji. Tidak heran jika banyak karya yang bertebaraan seputar pesantren. Ada yang berbentuk artikel, opini, tesis, makalah, dan bahkan buku serta yang lainnya. Beberapa buku yang membahas pesantren secara umum antara lain berjudul : Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Memelihara Umat: Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, Menggagas Pesantren Masa Depan, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi,
Beberapa karya buku lain, yang cakupan pembahasannya lebih spesifik tentang pendidikan pesantren serta upaya untuk merevitalisasinya diantaranya Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren; Kareel A Steenbrink. 1995. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurum Modern; Said Agil Sirajd.1999. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Tranformasi.
Akan tetapi Lebih khusus lagi karya seputar pendidikan pesantren dan PP nomor 55 tahun 2007 dalam bentuk buku, hingga kini masih belum pernah penulis jumpai. Hanya dalam bentuk artikel pernah ditulis oleh KH Achmad Sadid Jauhari, secara umum dan singkat isi tulisan beliau menggambarkan bahwa marginalisasi pendidikan yang dirasakan masyarakat pesantren sejak dulu itu, disebabkan karena pesantren lebih menjadi korban histories pasca kemerdekaan setelah dijadikannya bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Ditambah bahasa asing selain bahasa Arab, terutama bahasa Inggris, sangat berpengaruh di lingkungan ilmiah di negara ini. Maka, mau tidak mau, kita rasakan bahwa itu sangat berdampak bagi menyempitnya ruang gerak kiprah alumni pesantren salaf di masyarakat, yang notabene lebih sering menggunakan bahasa Arab. Apalagi setelah munculnya peraturan pemerintah dan undang-undang, khususnya Undang-undang Dosen dan Guru, sangat memukul bagi kiprah pengabdian alumni pesantren salaf di bidang pendidikan formal.
Menurutnya barangkali berangkat dari sinilah Depag menyiasati dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 untuk menolong kiprah para alumni pesantren salaf agar ruang gerak pengabdiannya di masyarakat lebih leluasa. Intinya, diupayakan agar bagaimana alumni pesantren salaf itu memperoleh penyetaraan dengan sekolah formal dalam dampak masyarakat sipil. Untuk itu, memang diperlukan standar kurikulum nasional di pesantren salaf ditambah beberapa mata pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.
Himbauan itu sama seperti disampaikan oleh Dr. Irwan Prayitno,
Ketua Komisi X DPR RI. Menurutnya ke depan Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Karena ia menilai pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.

I. Sistematika Pembahasan
Untuk dapat menjaga alur pembahasan secara sistematis, dan untuk mempermudah pembahasan, maka penulis dalam kajian ini mengklasifikasikan isi tulisannya menjadi, sebagai berikut:
Bab Pertama : Pendahuluan, meliputi:
Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Definisi Istilah, Alasan Memilih Judul, Metodelogi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Pembahasan.
Bab Kedua : Revitalisasi Pendidikan, mendiskripsikan tentang:
Pengertian Revitalisasi, Macam dan Prinsip Revitalisasi, Revitalisasi dalam Konteks Pendidikan, Unsur-unsur Revitalisasi Pendidikan, dan Sasaran serta Target Pendidikan.
Bab Ketiga : Pendidikan Pesantren Salaf, mengkaji tentang:
Pengertian Pendidikan Pesantren Salaf, Dikotomi Oreintasi Pendidikan Pesantren, dan Tipologi Pendidikan Pesantren Salaf.
Bab Keempat : PP 55 2007 dan Upaya Revitalisasi Pendidikan Pesantren:
Motiv dikeluarkannya PP 55 2007, Beberapa Unsur Sasaran Revitalisasi PP 55 2007, dan Isi Rekomendasi PP 55 2007.
Bab Kelima : Penutup, berisi tentang: Kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II
REVITALISASI PENDIDIKAN

A. Pengertian Revitalisasi
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Berbagai macam pengertian lain tentang revitalisasi dari banyak kalangan muncul sedemikian rupa. Bisa dimungkinkan satu sama yang lain bertentangan. Dalam khazanah dinamika keilmuan kontemporer, hal itu wajar terjadi, karena pada prinsipnya tidak akan ada definisi yang definitive. Artinya batasan pengertian terhadap suatu istilah tertentu, sulit –untuk tidak mengatakan mustahil– akan dapat menggambarkan istilah itu secara utuh dan menyeluruh.
Dalam konteks ini, istilah revitalisasi saja kadang-kadang menjadi guyonan mahasiswa di warung kopi, bahwa apabila alat keperkasaan laki-laki tidak berfungsi, maka perlu direvitalisasi, artinya adalah perlu (maaf) diperkasakan kembali.
Bahkan ada yang dengan nada serius, mengasumsikan bahwa istilah revitalisasi hanya bisa digunakan untuk masalah dan bidang tertentu, yaitu dalam hal upaya untuk menghidupkan kembali kawasan mati, yang pada masa silam pernah hidup, atau mengendalikan, dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau seharusnya dimiliki oleh sebuah kota baik dari segi sosio-kultural, sosio-ekonomi, segi fisik alam lingkungan, sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya.
Dalam frame ini secara utuh menggambarkan bahwa motiv pentingnya melakukan revitalisasi, adalah karena banyak hal:
1. Penurunan Vitalitas Ekonomi Kawasan Perkotaan
a. Ekonomi kawasan tidak stabil
b. Pertumbuhan kawasan yang menurun
c. Produktifitas Kawasan Menurun
d. Dis-ekonomi Kawasan
e. Nilai Properti Negatif (Rendah)
2. Meluasnya Kantong-Kantong Kumuh Yang Terisolir
a. Tidak terjangkau secara spasial
b. Pelayanan prasarana sarana yang terputus
c. Kegiatan ekonomi, sosial dan budaya yang terisolir
3. Prasarana Dan Sarana Tidak Memadai
a. Penurunan kondisi dan pelayanan prasarana (jalan/jembatan, air bersih, drainase sanitasi, persampahan)
b. Penurunan kondisi dan pelayanan sarana (pasar, ruang untuk industri, ruang ekonomi formal dan informal, fasilitas budaya dan sosial, sarana transportasi)
4. Degradasi Kualitas Lingkungan
a. Kerusakan ekologi perkotaan
b. Kerusakan amenitas kawasan
5. Kerusakan Bentuk Dan Ruang Kota Tradisi Lokal
a. Destruksi diri-sendiri
b. Destruksi akibat Kreasi Baru
6. Pudarnya Tradisi Sosial Dan Budaya Setempat Dan Kesadaran Publik
a. Pudarnya tradisi
b. Lemahnya kesadaran publik
Penataan dan revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota.
Targert revitalisasi ini, biasanya mencegah terjadinya penurunan produksi ekonomi melalui penciptaan usaha lapangan kerja dan pendapatan ekonomi daerah, meningkatkan stabilitas ekonomi kawasan dengan upaya mengembangkan daerah usaha dan pemasaran serta keterikatan dengan kegiatan lain, meningkatkan daya saing ekonomi kawasan dengan mengatasi berbagai permasalahan lingkungan dan sarana prasarana yang ada, seperti meningkatkan pelayanan sarana prasarana di kawasan kumuh, mengembangkan amenitas kawasan, mengkonservasi aset warisan budaya kawasan lama, mendorong partisipasi komunitas investor dan pemerintah lokal dalam revitalisasi kawasan.
Kawasan yang direvitalisasi biasanya adalah :
1. Kawasan mati seperti tidak mampu merawat, tidak mampu memanajemen pertumbuhan, kepemilikan majemuk, nilai properti negatif, rendahnya intervensi publik, menyebabkan, rendahnya investasi oleh masyarakat, pindahnya penduduk, pindahnya kegiatan usaha, hilangnya peran terpusat, kawasan Hidup tapi Kacau, pertumbuhan ekonomi tdk terkendali, nilai properti tinggi, namun menyebabkan penghancuran secara kreative terhadap aktifitas tradisional, pembangunan tidak kontekstual, dan penghancuran nilai-nilai lama.
2. Kawasan hidup tapi kurang terkendali. Yang termasuk kawasan ini diantaranya kegiatan cukup hidup, namun kurang kontrol, terjadinya pergeseran fungsi dan nilai lama yg signifikan, dan pergeseran setting tradisionalnya.

B. Macam dan Prinsip Revitalisasi
Seiring perkembangan selanjutnya, istilah revitalisasi digunakan oleh banyak kalangan dalam segala bidang, dari bidang kajian yang abstark sampai dengan yang nampak secara kasat mata. Beberapa contoh revitalisasi di ranah pemikiran saja diantaranya yang bisa diangkat adalah revitalisasi kearifan lokal yaitu suatu langkah upaya menginterpretasi ulang makna-makna yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut agar tetap produktif. Reinterpretasi itu penting, sebab pemaknaan kearifan lokal oleh para leluhur kita itu tentulah mereka sesuaikan dengan konteks zamannya, dan generasi penerusnya saat ini perlau melakukan pemaknaan lagi sesuai dengan konteks zaman yang berlangsung sekarang, sama seperti penyesuaian yang dilakukan oleh nenek moyang dahulu. Wilayah cakupan revitalisasi yang dilakukan berkutat di wilayah seputar hal-hal yang abstrak. Sukses tidaknya revitalisasi itu tentu dengan pengamatan dengan cara abstraksi pula. Kasus yang sama, seperti revitalisasi budaya, visi organisasi, paradigma keislaman, dan banyak lagi yang lainnya, juga di wilayah yang tidak nampak secara kasat mata.
Sementara revitalisasi hutan adalah salah satu contoh bentuk revitalisasi yang konkrit atau berbentuk material, mudah diraba dan dilihat mata. Berikut akan dikemukakan hutan yang pernah direvitalisasi pemerintah yaitu hutan di Aceh pasca tsunami 2004. Waktu itu hutan ternyata juga menjadi korban keganasan bencana alam juga. Cara yang dilakukan pemerintah mengembalikan dan memulihkan kondisi hutan itu adalah dengan revitalisasi. Realisasi itu berdasar pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi.
Banyak contoh revitalisasi material lainnya, seperti revitalisasi pantai losari di kota Makassar pada tahun 2002 lalu, juga digagas oleh pemerintah. Revitalisasi energi nuklir, seperti yang dilakukan oleh Amerika pada saat George Walker Bush. Jr menjabat sebagai Presiden. Revitalisasi infrastruktur kota (perkotaan), dan masih banyak contoh yang lain.
Dengan diskripsi dan uraian contoh singkat di atas, akan tambah mempertegas bahwa macam-macam revitalisasi itu sangat banyak, sebanyak bidang kajian yang ada. Revitalisasi bisa di tarik ke mana-mana untuk hal apa saja. Dalam tataran aplikatif sebagaimana digunakan banyak kalangan belakangan ini, revitalisasi tidak ubahnya seperti istilah kata biasa, sama dengan kata reorganisasi, reformulasi, reinterpretasi dan yang lainnya. Lebih jelas, memfinalkan istilah revitalisasi sebagai suatu bangunan teori tertentu yang lahir karena gejolak sejarah masa lalu, belum ada sumber refrensi yang akurat dan mutawatir.
Hanya apabila lebih meyakini revitalisasi sebagai bangunan suatu teori tertentu, maka untuk digunakan dalam kajian bidang apa saja, ada beberapa prinsip dasar revitalisasi yang harus dipakai:
1. Objek revitalisasi (tempat atau masalah yang akan diberdayakan) jauh dalam rentang waktu sebelumnya sudah pernah menjadi vital (sudah pernah terberdaya).
2. Disaat akan melakukan revitalisasi, tempat atau masalah yang menjadi objek dimaksud dalam kondisi menurun atau kurang terberdaya lagi.
3. Target dilakukannya revitalisasi adalah untuk memulihkan kembali kondisi suatu tempat atau masalah, minimal sama dengan vitalitas yang pernah digapai sebelumnya, tambah bagus apabila lebih baik lagi.

C. Revitalisasi Dalam Konteks Pendidikan
Di bidang pendidikan-pun yang masalahnya tentu mengalami pasang-surut, sama seperti dialami perjalanan dinamika bidang-bidang yang lain, maka di saat-saat tertentu revitalisasi juga menjadi penting dilakukan. Hal ini bisa disebut bagian dari proses penyegaran agar himmah terus bisa berlangsung.
Revitalisasi dalam konteks pendidikan maksudnya adalah memaksimalkan semua unsur pendidikan yang dimiliki menjadi lebih vital atau terberdaya lagi, sehingga sasaran dan proses pendidikan yang dilakukan bisa dicapai dan dilangsungkan dengan maksimal pula.
Banyak hal yang penting dibuat lebih berdaya. Diantaranya sama seperti enam agenda rapat koordinasi nasional (Rakornas) yang digelar selama tiga hari sejak tanggal 7 sampai dengan tanggal 9 Agustus 2006, membincang tentang tiga isu aktual saat itu, salah satunya revitalisasi pendidikan. Enam unsur penting beserta rumusan hasil yang menjadi agenda pembahasan revitalisasi pendidikan, diantaranya:
1. Penyempurnaan Renstra.
2. Penjaminan mutu melalui ujian nasional.
3. Penjaminan mutu melalui peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik, kurikulum, dan metode pembelajaran.
4. Penjaminan mutu melalui saluran pendidikan bertarap internasional, peningkatan mutu sarana dan prasarana, pembelajaran berbasis ICT dan TV Edukasi.
5. Sistem seleksi dan pembinaan peserta didik berpotensi kecerdasan dan atau bakat istimewa.
6. Penuntasan desentralisasi pendidikan jenjang dasar dan menengah, dan pengakuan kelulusan pendidikan keagamaan.
Pada prinsipnya ruang lingkup dan substansi draft agenda pembahasan pertama, yaitu Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009 sudah cukup memadai untuk menjadi pedoman dasar dalam pembangunan pendidikan nasional.
Dalam pengembangan konsep dan implementasi Revitalisasi Pendidikan, diidentifikasi tiga aspek yang perlu diperkuat yaitu:
1. Sinergisme dan harmonisasi pelaksanaan tugas dan fungsi departemen, kementerian dan lembaga terkait pendidikan.
2. Sinergisme pemerintah pusat dan daerah dalm konteks otonomi daerah.
3. Peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat.
Revitalisasi Pendidikan adalah upaya yang lebih cermat, lebih gigih dan lebih bertangung jawab untuk mewujudkan tujuan pembangunan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Aspek akhlak mulia, moral dan budi pekerti perlu dimasukkan dalam pengembangan kebijakan, program dan indikator keberhasilan pendidikan, khususnya dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan nasional harus mampu mengidentifikasi dan menjawab tantangan masa depan, serta menjamin keberlanjutan kebijakan dan programnya. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak mampu dalam memperoleh layanan pendidikan yang bermutu perlu dipertegas, sehingga pemerataan pendidikan untuk semua generasi anak bangsa bisa dirasa semua kalangan dari lintas penjuru se- Indonesia. Terlebih untuk mereka yang punya bakat dan kemampuan istimewa.
Isu untuk anak cerdas dan punya bakat istimewa, dibahas di agenda pembahasan kelima. isinya mengatur mekanisme rekrutmen, proses pembinaan, sampai dengan bentuk penghargaan yang layak didapat. Proses seleksi dan proses pembinaan dilakukan dengan cara sistematis. Pengembangan sistem seleksi, melalui pembinaan anak berbakat yang lebih efektif perlu didahului dengan sistem pemetaan berjenjang dari tingkat kecamatan sampai dengan tingkat nasional, dan di samping sistem seleksi secara berjenjang, pembinaan perlu didukung dengan sistem pemilihan pelatih yang diseleksi dari para guru bidang studi di tingkat kecamatan sampai dengan tingkat nasional.
Pemerintah juga melibatkan peran serta masyarakat, akan tambah baik apabila ada demarkasi yang jelas antara peran pemerintah dan peran masyarakat. Pendidikan dan pembinaan bagi anak anak berpotensi kecerdasan/atau bakat istimewa merupakan private goods yang diserahkan pengelolaannya lebih banyak kepada masyarakat dan peran pemerintah adalah pada penentuan regulasi. Peningkatan mutu pendidikan bagi peserta didik pada umumnya merupakan domain public goods dan oleh karena itu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengelolanya secara langsung.
Peran serta masyarakat, terutama dunia usaha melalui corporate social responibility, perlu untuk lebih didorong melalui sistem insentif bidang perpajakan dan melalui keterlibatan mereka dalam talent scouting anak-anak berpotensi kecerdasan atau bakat istimewa. Dan kesadaran philantrophy anggota masyarakat perlu dibangun agar pembinaan siswa berpotensi kecerdasan/atau bakat istimewa memperoleh dukungan masyarakat secara lebih nyata.
Penghargaan penting diberikan dalam berbagai bentuk, diantaranya seperti; Penghargaan material dimaksudkan untuk menstimuli pengembangan akademik anak berpotensi kecerdasan/atau bakat istimewa dan hendaknya tidak menimbulkan ekses berkembangnya sikap materialistis. Begitu pula penghargaan akademik kepada para siswa berpotensi kecerdasan atau bakat istimewa peraih prestasi nasional dan atau internasional diarahkan untuk memberikan kesempatan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tanpa melalui ujian seleksi. Untuk memberi kesempatan lebih lanjut bagi siswa berbakat istimewa mengembangkan potensi akademiknya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Penghargaan kepada anak berpotensi kecerdasan atau bakat istimewa secara akademis, perlu diberi jaminan kerja sesuai dengan keahliannya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya brain drain seperti yang selama ini sudah terjadi.
Dan terakhir pentingnya peran khas dari pemerintah, di semua tingkatan baik pemerintah pusat, propinsi, kota/kabupaten, dan satuan pendidikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersinergi dalam melakukan regulasi untuk melakukan pemetaan dan seleksi, serta pembinaan bagi siswa berpotensi maupun bagi guru pelatih. Pemerintah daerah perlu memasyarakatkan sikap dan nilai-nilai apresiasitif terhadap pemenang kompetisi pendidikan di daerahnya masing-masing agar masyarakat secara keseluruhan bisa menghargai prestasi warga masyarakat di bidang pendidikan. Di samping pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat juga perlu menyediakan fasilitas dan dana dalam proses seleksi dan pembinaan siswa berpotensi kecerdasan/atau bakat istimewa dan guru pelatih. Satuan pendidikan melakukan penelusuran anak-anak yang mempunyai potensi kecerdasan/atau bakat istimewa, dan melakukan pembinaan untuk menjaga keseimbangan antara aspek akademis dengan aspek moral dan nilai-nilai nasioalisme. Belajar dari keberhasilan berbagai sistem pelatihan bagi peserta olimpiade, perlu dikembangkan pusat-pusat pelatihan untuk bidang seni, budaya dan olahraga.
Gagasan revitalisasi pendidikan oleh pemerintah itu, tidak semata-mata khusus hanya untuk lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas, melainkan menyeluruh dan lebih luas, termasuk juga lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depag. Seperti diketahui pemerintah mempunyai dua departemen yang sama–sama membawahi lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pembagian ini dikarenakan ada ciri dan karakter khusus yang berbeda antara lembaga pendidikan di bawah dua departemen itu. Sentuhan revitalisasi yang dilakukan pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan pemerataan, agar satu sama lain tidak terjadi ketimpangan. Pemerataan ini bahkan diupayakan pula bagaimana agar bisa sejajar dengan lembaga pendidikan unggulan lain dari lintas Negara yang ada.
Secara rinci masih banyak bentuk dan berbagai macam tawaran lain seputar revitalisasi oleh pemerintah apalagi masyarakat luas tentang pendidikan Indonesia ke depan. Banyak kebijakan yang dikeluarkan sebagai bagian dari spirit revitalisasi. Khusus untuk lembaga pendidikan agama dalam konteks Indonesia, tawaran revitalisasi menurut Abdul Mu'ti, dapat dilakukan melalui tiga langkah.
1. Menyempurnakan perangkat perundang-undangan dan pelaksanaannya. Rancangan UU Sisdiknas yang sedang dibahas DPR sesungguhnya sudah sangat mencerminkan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang multi-religius. Rancangan dalam pasal 13-1 yang menyebutkan bahwa "pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama" dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan praktik pendidikan agama yang ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Rumusan dalam pasal 13-1 tidak sama sekali baru, melainkan hanya penegasan dari perundangan pendidikan yang sekarang ini seharusnya berlaku. Rancangan tersebut juga sangat rasional dan universal. Sebagai bangsa yang religius, agama mendapatkan tempat yang terhormat. Pernyataan bahwa siswa menerima pendidikan agama sesuai dan oleh guru yang seagama memungkinkan mereka untuk memahami ajaran agamanya secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pasal ini tidak mengikat kelompok tertentu, tetapi semua agama dan lembaga pendidikan.
2. Meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Selama ini pelajaran agama lebih terkesan sebagai "pengajaran" dibandingkan dengan "pendidikan". Dalam konteks "pengajaran", pelajaran agama dapat diberikan oleh guru yang tidak seagama, bahkan yang anti-agama. Praktik inilah yang berlaku di negara-negara sekuler, dimana pelajaran agama dimaksudkan untuk mengetahui ajaran agama sebagai realitas sosiologis mayarakat plural. Dalam pengertian "pendidikan", pelajaran agama bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Disini peranan guru yang seagama sangat penting, terutama pada pendidikan Dasar dan Menengah. Pada level pendidikan ini, guru adalah central figure yang menjadi sumber imitasi dan otoritas keagamaan. Agama bagi siswa adalah "apa yang diamalkan" oleh gurunya. Termasuk dalam langkah ini adalah menambah jumlah dan meningkatkan kwalitas kependidikan guru agama.
3. Meningkatkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan agama. Dengan sistem persekolahan sekarang ini, siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dibandingkan dengan di rumah. Karena itu, pendidikan agama tidak cukup hanya dalam keluarga. Disamping karena terbatasnya waktu, banyak orang tua yang tidak mampu memberikan pendidikan agama. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh pengetahuan dan oleh tenaga yang terbatas.
Yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan pendidikan agama sebagai bagian integrative dari lembaga pendidikan. Nilai-nilai moral agama melekat dan menjiwai setiap mata pelajaran. Tidak ada dikotomi antara pelajaran agama dengan yang lainnya. Sekolah seharusnya menjadi lembaga yang seluruh aktivitas dan personel yang ada di dalamnya mengamalkan ajaran agama. Misalnya, sekolah dapat menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dimana kejujuran dan keadilan ditegakkan. Sekolah merupakan tempat yang damai dimana semua orang dapat mengamalkan ajaran agamanya secara bebas, tanpa tekanan, saling menghormati dan bekerjasama diantara pemeluk agama yang berbeda. Inilah yang perlu kita perjuangkan bersama-sama.

D. Unsure-unsur Revitalisasi Pendidikan
Luasnya ruang pembahasan tentang pendidikan, menyebabkan semakin banyak pula tawaran pembahasan dari sisi yang terkecil sekalipun untuk disorot dalam rangka direvitalisasi hal-hal minus yang dianggap penting untuk itu. Hanya secara universal menurut hemat penulis, unsur-unsur pendidikan saja dulu yang perlu dilihat pertama untuk diketahui apakah perlu direvitalisasi atau tidak. Beberapa unsur itu, diantaranya :
1. Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.
Menempatkan peserta didik sebagai pribadi yang utuh adalah suatu keharusan. Dalam kaitannya dengan kepentingan pendidikan, akan lebih ditekankan hakikat manusia sebagai kesatuan sifat makhluk individu dan makhluk sosial yang merdeka dan bebas.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b. Individu yang sedang berkembang.
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
2. Pendidik
Istilah pendidik lebih dikenal dengan sebutan guru, mereka adalah orang yang diberi pelimpahan dari tugas orang tua yang tidak mampu untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak-anaknya
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Mendidik mempunyai arti jauh lebih luas lagi dari sekedar mengajar. Belakangan ini tidak mudah untuk bisa menyandang idenditas Pendidik. Selain kualifikasi akademik yang harus didapat, tentu dengan cara melanjutkan kuliah hingga lulus S1 atau minimal D2, selebihnya juga perlu uji kelayakan yang di tes pemerintah melalui program sertifikasi.
3. Interaksi Edukatif antara Pendidik dan Peserta Didik
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan.
Memperlancar pola interaksi antara pendidik dan peserta didik agar tercipta perbaikan yang diinginkan, setidaknya pendidik perlu memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Mencintai profesinya sehingga tugas-tugas sebagai pendidik dilaksanakan dengan rasa senang dan penuh anggung jawab.
b. Peka terhadap kebutuhan peserta didik dan mau membantu peserta didik dalam menghadapi kesulitan belajarnya serta berusaha untuk mengetahui kemungkinan masalah yang akan dihadapinya.
c. Bisa membangkitkan semangat dan perhatian belajar siswa melalui penyajian bahan dan prosedur pengajaran yang digunakan.
4. Tujuan Pendidikan
Setiap proses selalu ada tujuan yang hendak dicapai, karena melangkah tanpa tujuan sama seperti berjalan tidak tau arah. Akan cenderung mudah dibuat ombang-ambing oleh keadaan yang mengiringinya. Proses pendidikan-pun mempunyai tujuan yang ingin dicapai oleh semua pihak terutama peserta didik yang menjadi pelaku pendidikan. Secara garis besar target tujuan akhir dari proses pendidikan yang dilakukan, sebagaimana dicita-citakan oleh negara yang tertuang dalam UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan generasi anak bangsa ke depan. Cita-cita ini berlandaskan cita-cita agama yaitu membentuk peserta didik menjadi insan paripurna.
Lebih spesifik lagi menurut Dede Rosyada, bahwa tujuan pendidikan selalu diarahkan kepada pencapaian kompetensi, yaitu kecakapan atau kemampuan peserta didik dalam tiga ranah sekaligus, kognetif, afektif dan psikomotorik.
5. Materi Pendidikan (Kurikulum)
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu".
Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan atau konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Biasanya untuk mempermudah penyampaian materi kepada peeserta didik, kurikulum diorganisasikan sesuai dengan sistem pengajaran pendidikan yang ada, yaitu pendidikan dasar (9 tahun), pendidikan menengah (3 tahun), dan pendidikan atas (4 tahun).
Sederhananya, kurikulum adalah materi pelajaran yang telah dirumuskan bersama untuk ditransformasikan kepada peserta didik sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka NKRI, dengan memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, dan peningkatan akhlaq mulia. Arah dari rumusan kurikulum tentu untuk mewujudkan tujuan/cita-cita pendidikan. Ada kerja sama berkesinambungan antar unsure-unsur pendidikan yang ada.
6. Metode dan Alat Pembelajaran
Metode mengajar adalah sekumpulan cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai.
Alat atau bisa juga disebut perangkat pembelajaran adalah instrumen atau media yang digunakan ketika pembelajaran dilangsungkan agar peserta didik mudah mencerna dan memahami materi yang disampaikan oleh pendidik. Alat pembelajaran ini biasanya disesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan. Berikut beberapa macam metode pembelajaran:
d. Metode Ceramah
Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan saecara lisan kepada sejumlah peserta didik yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham peserta didik.
e. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah (problem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi kelompok (group discussion) dan resitasi bersama (socialized recitation ).
f. Metode Simulasi
Metode simulasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan.
7. Lingkungan Pendidikan
Sejak lama Ki Hajar Dewantoro memproklamirkan ada tiga lingkungan pendidikan yang disebut dengan tri pusat-pendidikan. Penjelasan dari lingkungan itu banyak juga yang menyebut dengan istilah pendidikan formal, informal, dan nonformal. Hanya untuk pembahasan ini akan banyak mengupas lingkungan pendidikan di sekolah saja atau ketika proses pembelajaran berlangsung.
Lingkungan belajar, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Lingkungan ini mencakup dua hal utama, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial, kedua aspek lingkungan tersebut dalam proses pembelajaran haruslah saling mendukung, sehingga siswa merasa kerasan di sekolah dan mau mengikuti proses pembelajaran secara sadar dan bukan karena tekanan ataupun keterpaksaan.
Oleh karenanya dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, setiap guru harus dapat menciptakan suasana belajar yang humanis, bebas, dan menyenangkan. suasana interaksi belajar mengajar yang hidup, memotivasi siswa untuk berpartisipasi dalam proses belajar mengajar, dan lingkungan belajar di kelas yang kondusif. Agar pembelajaran benar-benar kondusif maka guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam menciptakan kondisi pembelajaran tersebut. Diantara yang dapat diciptakan guru untuk kondisi tersebut adalah penciptaan lingkungan belajar.

E. Sasaran dan Target Revitalisasi Pendidikan
Sebagaimana telah kita pahami bahwa pengembangan manusia seutuhnya telah menjadi tujuan pendidikan nasional, dan mungkin saja telah menjadi tujuan pendidikan nasional di berbagai negara. Tetapi pada kenyataannya kita sering kurang jelas atau kesulitan menemukan gambaran manusia seutuhnya, dan akan lebih sulit lagi ketika harus merumuskan bagaimana mengembangkan manusia yang utuh, terintegrasi, selaras, serasi dan seimbang dari berbagai aspek dan potensi yang dimiliki manusia.
Secara garis besar objek ahir yang akan diberdayakan adalah generasi muda harapan bangsa, bagaimana ke depan bisa ikut terlibat mengisi kemerdekaan republik tercinta ini menjadi lebih baik, atau minimal bisa menjadi warga negara yang cinta tanah air, berkepribadian baik, tidak suka merusak asset negara dalam bentuk material dan terus menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Ekspresi itu, penulis menganggap cermin manusia seutuhnya dalam konteks ke-Indonesia-an sebagaimana yang dicita-citakan oleh tujuan pendidikan nasional.
Hanya lebih general, sebelum memberdayakan anak bangsa di usia sekolah, menjadi penting pula memberdayakan lembaga tempat anak belajar. Dan lebih spesifik lagi lembaga yang mestinya menjadi sasaran revitalisasi adalah lembaga pendidikan yang masih belum terberdaya baik itu lembaga pendidikan di bawah lingkungan Depdiknas maupun Depag, dan atau baik lembaga pendidikan itu formal, informal, maupun nonformal, agar pemerataan dan penyetaraan lembaga pendidikan di Indonesia beserta out put peserta didiknya, bias dirasa “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Dalam arti sama dan sepadan.
BAB III
PENDIDIKAN PESANTREN SALAF

A. Pengertian Pendidikan Pesantren Salaf
Secara utuh menyeluruh, dari rangkaian tiga kata pendidikan pesantren salaf, lebih awal akan dijabarkan pengertian tentang kata salaf. Kata salaf secara bahasa, berlaku pada setiap orang yang telah mendahului kita. Kata salaf mempunyai arti yang telah lalu. Kaum salaf adalah kaum terdahulu. Salaf seseorang adalah kakek moyangnya terdahulu. Dalam pengertian ini, kata salaf berarti semakna dengan kata qobla yang artinya sebelum atau yang lampau. Bisa juga disamaartikan dengan kata At-Taqoddum (yang terdahulu). Kata ini sering dilawankan dengan khalaf, yang berarti belakangan atau modern.
Salaf dalam term ini dikaitkan dengan masa, waktu, dan jaman. Kadang dikaitkan dengan generasi. Kadang dikaitkan dengan keadaan. Semua itu merujuk ke masa lalu. Masa jahiliyah sebelum Islam di Makkah juga disebut jaman Salaf. Para Nabi sebelum Rasulullah Saw juga Salaf. Bahkan Fir’aun-pun sebenarnya Salaf, dengan arti orang yang hidup di masa lalu. Itu pemaknaan secara general (umum).
Pengertian kata salaf secara lughawi di atas dilandaskan kepada hadits Nabi tentang ucapan salam kepada penghuni kubur bagi yang melewatinya. Isi hadist itu, artinya berbunyi: “Semoga keselamatan bagi kalian para penghuni kubur dari kalangan muslimin dan mukminin. Kalian adalah salaf kami dan kami akan menyusul kalian. Semoga Allah Swt. mengampuni (dosa-dosa) kami dan (dosa-dosa) kalian”. Sabda Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam tentang kata ”Kalian adalah salaf kami..”, di penggalan Hadist di atas, mempunyai arti bahwa kalian adalah pendahulu kami.
Dalam perkembangannya makna Salaf menyempit untuk menyebut suatu babakan historis tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi ajaran Islam atas kurun waktu saat itu dan sesudahnya. Otoritas tersebut hanyalah melekat pada tiga generasi awal Islam, yakni para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in). Pemahaman itu diilhami oleh sabda Nabi; “Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.
Dalam babakan sejarah lebih lanjut lagi, di Indonesia istilah kata salaf lebih cenderung diartikan tradisional atau kebalikan dari modern. Jadi beda pengertian antara arti salaf seperti yang datang dari Timur Tengah, dan arti salaf yang lahir dari khazanah dan kekayaan Islam Nusantara. Hanya lebih khusus lagi kata salaf lebih sering digunakan sebagai bagian dari tipologi model pesantren yang ada saat ini.
Lebih jelas jadi, Pesantren salaf adalah sebutan bagi yang masih menerapkan sistem kuno atau tradisional dalam banyak hal seperti konstruk sosial budaya sarung-an. Satu hal lagi yang kental di di pesantren salaf itu adalah hubungan antara kiai dengan santri cukup dekat secara emosional. Kiai terjun langsung dalam menangani para santrinya.
Dan pendidikan pesantren salaf adalah penerapan proses pembelajaran dengan menggunakan sistem dan metode kuno atau tradisional, serta hal lain yang bersangkut paut dengan masalah pendidikan, yang hal itu menjadi karakteristik khusus, pembeda dengan model pendidikan lainnya, termasuk pendidikan modern dan pendidikan formal milik pemerintah (sekolah negeri) seperti yang dilihat dan bertebaran di mana-mana saat ini.

B. Dikotomi Orientasi Pendidikan Pesantren
Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam, karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan perbaikan terus menerus secara otodidak.
Terdapat pelbagai oreintasi dan kecenderungan baru yang terus berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif, lebih-lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan nasional yang kurang mencerdaskan dan cenderung memunculkan ketergantungan yang terus menerus. Oreintasi dan kecenderungan tersebut antara lain :
1. Karakternya yang khas dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air (bukan menara api). Pesantren selain identik dengan makna ke- Islaman juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebagai indigenous, Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata uang, atau harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti firman Allah Swt, yaitu laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap musim dengan idzin Allah Swt.
2. Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah Islamiyah dan kebebasan. Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat dalam perubahan yang bagaimanapun.
3. Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kiai. Artinya kiai bagi santri tidak sekedar guru ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi ke- Islaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kiai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga bersifat batiniyah.
4. Model pengasramahan. Di pesantren, terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga kiai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
5. Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan datang, karena ia mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan yang artinya, ”Menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik” itu adalah merupakan bagian dari pilihan sikap yang bijak.
Dengan berbagai visi serta kecenderungan baru itulah, kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi pesantren akan kehilangan nilai relevasinya dengan kehidupan sosial yang terus berubah, saat ini secara perlahan mulai terjawab, misalnya dalam segi elemen pokok, pada perkembangan selanjutnya elemen pokok pesantren tidak hanya terdiri dari kiai, masjid, pondok, pengajian kitab klasik dan santri, sebagaimana dilihat Zamakzary Dhofir, Tapi telah jauh berkembang pada pusat keterampilan, pusat olah raga, kantor administrasi, perpustakaan, laboratorium, pusat pengembangan bahasa, koperasi, balai pengobatan, pemancar radio, penerbitan dan lain lain.
Demikian juga kita melihat terdapat beberapa refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan sosial, saat ini berkembang pada fungsi ekonomi, pengkaderan, dan public service. Dengan refungsionalisasi tersebut, pesantren pada gilirannya tidak sekedar memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya, seperti transmisi ilmu ilmu ke- Islaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri, pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai, pembangunan lembaga dan kemandirian.
Dengan berbagai perkembangan baru yang terus bergerak, walau terkesan hati-hati dan cenderung gradual evolusioner, Pesantren jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada gilirannya pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan dirinya pada posisi sebagai pusat pencerahan, pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, pusat emansipasi wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Kendati bersifat evolusioner, dengan langkah yang mantap pesantren terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang konstan, dari tahun ke tahun mereka mampu menarik minat masyarakat stake holder untuk berbondong bondong memasukkan putra putrinya ke lembaga tersebut. Hal tersebut selain disebabkan faktor internal, dimana pesantren terus melakukan pembenahan dan konsolidasi diri, juga disebabkan faktor eksternal dimana lembaga pendidikan modern tidak mampu secara nyata melahirkan manusia yang integrative, mandiri dan berakhlakul karimah. Padahal yang paling dibutuhkan dalam dunia yang semakin menua ini tidak saja manusia yang siap pakai, yang lebih penting justru yang siap hidup, Untuk hal yang terakhir, peran alumni pesantren tidak dapat diragukan.
Dengan menyandarkan diri kepada Allah Swt, para kiai pesantren memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimatnya, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pesantren, tidak tergantung pada sponsor dalam melaksanakan visi dan misinya. Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional dengan sarana dan prasarana yang mudah, namun para kiai dan santrinya tetap mencerminkan prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebagian besar pesantren salaf tampil dengan sarana dan prasarana sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini, ternyata tidak menyudutkan para kiai dan santri untuk melaksanakan program-program pesantren yang telah dicanangkan. Mereka seakan sepakat bahwa pesantren tempat untuk melatih diri (riyadhoh) dengan penuh keprihatinan, asalkan tidak menghalamgi mereka untuk menuntut ilmu.
Dengan demikian jiwa kesederhanaan di atas, merupakan bagian dari tujuan pendidikan pesantren dalam rangka menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, sebagai pelayan masyarakat, mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama dan atau menegakkan agama Islam demi kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat Islam.
Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu kualitas out put pondok pesantren salaf itu memang tergantung terhadap program yang dirancang oleh sosok pengasuh sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Hanya saja secara umum ada pergeseran oreintasi, antara pendidkan pesantren masa lalu dan masa kini.
a. Oreintasi Pesantren Masa Lalu
Dalam sepanjang perkembangan zaman dengan sejumlah kontradiksi atau anomali nilai-nilai di tengah masyarakat, pesantren melakukan resistensi dalam rupa reaksi atau respon dan adaptasi. Salah satu penyebabnya ialah sifat likuiditas pesantren. Likuiditas pesantren dapat dilihat dari sejarah dan orientasi pesantren yang selalu berubah seiring perkembangan zaman.
Orientasi pertama lahirnya pesantren adalah untuk merespon situasi dan kondisi sosial masyarakat yang mungkin dianggap ancaman. Transformasi nilai merupakan cara yang dilakukan sebagai tawaran bagi masyarakat. Selanjutnya, pesantren berorientasi sebagai institusi Islam atau pelembagaan nilai Islam. Pada masa penjajahan Belanda, misi pesantren berorientasi pada ideologi-politik atau religio-politik. Motivasinya adalah merebut kemerdekaan dan membebaskan masyarakat dari belenggu penghisaban oleh kaum penjajah.
b. Oreintasi Pesantren Masa Kini
Pesantren masa kini memiliki orientasi religio-ekonomik karena terkait independensi lembaga dan kebutuhan akan kesejahteraan bersama. Dalam kata lain, pesantren dapat dikatakan lebih bersifat pragmatis dan fungsional. Apalagi, jumlah masyarakat miskin di Indonesia tidak pernah surut dan pesantren berpotensi membantu mengentaskan kemiskinan sembari memberdayakan komunitas internalnya sendiri. Pesantren masa kini tampaknya secara mendasar berupaya memberikan pembekalan keterampilan atau spesifikasi pada para santrinya yang akan terjun ke masyarakat. Berbagai bidang keahlian dapat dipilih oleh para santri sesuai minatnya, seperti pendidikan guru, pertanian, perikanan, kerajinan, dan lain-lain. Hal ini dapat dianggap sebagai negosiasi pesantren terhadap nilai-nilai baru yang berkembang dalam masyarakat akibat kemajuan ilmu (science), pengetahuan (knowledge), dan teknologi.
Adanya perubahan orientasi pesantren tersebut disebabkan oleh perbedaan harapan antara santri pada masa dulu dan santri masa kini. Dulu, santri menghabiskan seluruh waktunya di pesantren untuk menempa iman, ilmu, dan amal, sementara santri sekarang menganggap pesantren sebagai karantina uji batiniah dan lompatan untuk meneruskan ke lembaga sekuler yang lebih tinggi. Tanda itu terlihat dari kebutuhan santri atas ijazah sebagai syarat pokok untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Akibat pergeseran orientasi tersebut pesantren tidak lagi terkesan eksklusif dan teralienasi, melainkan terbuka dan eksis dalam masyarakat. Hal itu dilakukan karena pesantren berusaha mengimbangi institusi-institusi pendidikan lainnya. Namun, pesantren tidak meninggalkan identitasnya yang prinsipil sebagai lembaga pendidikan Islam yang bertujuan mereproduksi ulama dan memelihara kesucian ajaran Islam dari nilai-nilai sekuler.

C. Tipologi Pendidikan Pesantren Salaf
Dalam banyak literatur tentang pesantren dinyatakan sejumlah tipe atau klasifikasi pesantren. Walaupun pada masing-masing peneliti pesantren terdapat perbedaan tipe, tetapi intinya sama. Secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Pesantren khalaf atau banyak juga yang menyebut dengan istilah pesantren modern, biasanya ditandai oleh ciri-ciri :
a. Memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern.
b. Tidak terikat atau tersentral pada figur kiai
c. Memiliki pola dan sistem pendidikan modern dengan perpaduan kurikulum antara mata ajar berbasis ilmu agama dan mata ajar berbasis pengetahuan umum.
d. Sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan, teratur, permanen, dan biasanya berpagar.
2. Pesantren terpadu. Pesantren ini bertipe semi salaf sekaligus semi khalaf. Pesantren terpadu ini bercirikan nilai-nilai tradisional yang masih kental sebab kiai masih dijadikan figur sentral. Norma dan kode etik pesantren klasik masih menjadi standar pola relasi dan etika keseharian santri dalam pesantren. Namun, pesantren terpadu ini telah mengadaptasi sistem pendidikan modern sebagai bentuk respon atau penyesuaian terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren.
3. Pesantren salaf, atau biasa juga disebut dengan pesantren tradisional. Tipelogi ini secara khusus akan dibahas lebih rinci dan akan diklasifikasi dengan jelas ciri pesantren dan pendidikan pesantrennya. Secara umum, biasanya karakter dan ciri pesantren salaf, meliputi :
a. Sangat terikat pada figur kiai atau sosok kiai menjadi figure central segala bentuk kebijakan yang dijalankan oleh para santrinya.
b. Sholat jama’ah lima waktu, menjadi bagian dari kebiasaan santri sehari-hari.
c. Senang melakukan istighotsah, dan
d. Kontruksi pola hubungan antara kiai, ustad, dan santri sangat erat serta saling bahu membahu.
Sementara secara khusus, ciri dan karakter pendidikan pesantren salaf, yaitu dalam hal dan meliputi :
a. Manajemen
Biasanya model pesantren ini menggunakan manajemen dan administrasi sangat sederhana dengan sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan kiai yang diterjemahkan oleh pengurus pesantren. Di pesantren, kiai menjadi figur central yang mengendalikan semua bentuk kebijakan apapun, ke dalam dan ke luar.
Idealnya Dalam prinsip ajaran Islam, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Prosesnyapun juga harus diikuti dengan tertib.
Manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu tujuannya agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam, sebab dalam Islam tujuan yang jelas, landasan yang kokoh, dan cara yang benar merupakan amal perbuatan yang dicintai Allah Swt.
Setiap organisasi, termasuk pendidikan pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan pengetahuan manajemen, pengelola pesantren sebenarnya juga berarti mengangkat dan menerapkan prinsip nilai dari ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Manajemen yang dimaksud disini adalah upaya penataan bersama-sama untuk merumuskan proses dan tujuan yang akan ditempuh dengan cara efektif dan efisien dalam menjalankan roda pendidikan di pesantren. Penataan bersama-sama itu tentunya dengan cara musyawarah antar elemen yang terlibat. Musyawarah adalah bagian dari prinsip ajaran Islam yang dianjurkan.
Yang disebut efektif dan efisien adalah pengelolaan yang berhasil mencapai sasarannya dengan sempurna, cepat, tepat dan selamat. Sedangkan yang tidak efektif adalah pengelolaan yang tidak berhasil memenuhi tujuan karena adanya mis-manajemen, maka manajemen yang tidak efisien adalah manajemen yang berhasil mencapai tujuannya tetapi melalui penghamburan atau pemborosan baik tenaga, waktu maupun biaya.
Gambaran tentang perilaku manajer yang efektif, antara lain, mengembangkan potensi para bawahan, memahami dan tahu tentang apa yang diinginkan dan giat mengejarnya, memiliki motivasi yang tinggi, memperlakukan bawahan secara berbeda-beda sesuai dengan individunya, dan bertindak secara dan sesuai dengan kesapakatan team manajer.
Seorang manajer tidak hanya memanfaatkan tenaga bawahannya yang sudah ahli atau trampil demi kelancaran organisasi yang dia pimpin saja, tetapi juga memberikan kesempatan pada bawahannya agar mereka dapat meningkatkan keahlian atau ketrampilannya.
Kiai sebagai manajer pendidikan pesantren pada umumnya hanya tahu apa tugas mereka agar proses pendidikan dapat berlangsung konstan, tetapi acapkali mereka kurang mampu mengantisipasi secara akurat perubahan yang bakal terjadi di masyarakat pada umumnya dan dalam dunia pendidikan Islam khususnya. Akibatnya mereka hanya tenggelam dalam tugas-tugas rutin organisasi keseharian tetapi sangat sulit melakukan inovasi progresif nan memungkinkan dicapainya tujuan kelembagaan secara lebih improve dan membanggakan.
Ternyata di setiap perjalanan sebuah lembaga itu tidak terlepas dari aktivitas managemen, karena setiap lembaga, organisasi dan termasuk pondok pesantren selalu berkaitan dengan usaha-usaha mengembangkan dan memimpin suatu tim kerja sama atau kelompok orang dalam satu kesatuan, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Semuanya ini untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam organisasi yang ditetapkan sebelumnya.
Maka berbicara managemen pendidikan pesantren atau bisa disebut mengolah konsep apapun tentang pesantren sebenarnya bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih dahulu adanya kenyataan bahwa tidak ada konsep yang mutlak rasional, dan paling afdhol diterapkan di pesantren. Baik sejarah pertumbuhannya yang unik maupun karena tertinggalnya pesantren dari lembaga-lembaga kemasyarakatan lain dalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis, pesantren belum mampu mengolah, apalagi dalam soal melaksanakan konsep yang disusun berdasarkan pertimbangan rasional.
Dan dalam beberapa tahun terakhir di lembaga pendidikan pesantren telah dilakukan berbagai pembaharuan di bidang manajemen sebagai jawaban atas tuntutan demokratisasi global, salah satu bentuknya adalah model manajemen demokratis yang berbasis kultural, dari, oleh dan untuk peserta didik, dalam konteks ini terjadi rekonstruksi dari yang top down menjadi button up, dari yang doktrimal menjadi demokratik, dari yang menyeramkan menjadi menyenangkan.
Konsederasi yang dapat digunakan bagi model manajemen demokratis adalah bahwa setiap manusia dan masyarakat diciptakan dalam keadaan merdeka, karena itu kemerdekaan adalah hak setiap manusia, dan kemerdekaan sejati itu adalah terbebasnya rakyat dari berbagai bentuk ketidak berdayaan disegala bidang, termasuk pendidikan.
Karena itu agenda utama manajemen demokratis dalam pendidikan pesantren adalah semangat pembebasan kaum muslimin dari belenggu ideologi dan relasi kekuasaan yang menghambatnya mencapai perkembangan harkat dan martabat kemanusiaannya, maka manajemen demokratis di dunia pendidikan pesantren, sejatinya diarahkan pada proses aksi dimana kelompok sosial kelas bawah mengontrol ilmu pengetahuan dan membangun daya melalui pendidikan, penelitian dan tindakan sosial kritis.
Dari sisi managemen kelembagaan, di pesantren saat ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti model yayasan.
Sejatinya manajemen berhubungan erat dengan usaha untuk tujuan tertentu dengan jalan menggunakan berbagai sumber daya yang tersedia dalam organisasi atau lembaga pendidikan Islam dengan cara yang sebaik mungkin. Manajemen bukan hanya mengatur tempat melainkan juga mengatur orang per orang, dalam mengatur orang, tentu diperlukan seni atau kiat agar setiap orang yang bekerja dapat menikmati pekerjaan mereka.
Dalam Islam keharusan membuat perencanaan yang teliti sebelum melakukan tindakan banyak disinyalir dalam teks suci, baik secara langsung maupun secara sindiran (kinayah), misalnya dalam Islam diajarkan bahwa upaya penegakan yang ma’ruf dan pencegahan yang munkar membutuhkan sebuah perencanaan dan strategi yang baik, sebab bisa jadi kebenaran yang tidak terorganisir dan terencana akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir dan terencana.
Meskipun Alqur’an menyatakan yang benar pasti mengalahkan yang bathil, namun Allah lebih mencintai dan meridhoi kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapi, terencana dan teratur.
Setelah perencanaan, dilanjutkan dengan pengorganisasian, yakni proses penataan, pengelompokan dan pendistribusian tugas, tanggung jawab dan wewenang kepada semua perangkat yang dimiliki menjadi kolektifitas yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan team work dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efesien. Dalam Al- Qur’an, ditegaskan bahwa “Setiap orang mempunyai tingkatan menurut pekerjaannya masing-masing”.
Contoh sikap yang pernah dilakukan Rosulullah Saw, adalah sewaktu beliau membentuk atribut Negara. Beliau memposisikan dirinya sebagai pemegang kekuasaan dan menempatkan para sahabatnya di posisi yang beerbeda-beda sesuai dengan keahlian, kecakapan, dan kapasitas kemampuan masing-masing diantara mereka. Karenanya dalam konteks managerial penataan pendidikan pesantren, seperti ini. Para kiai perlu meneladani sikap yang telah dicontohkan Rosulullah Saw.
b. Kurikulum
Pada prinsipnya sumber materi yang dipelajari di pendidikan pesantren adalah al- Qur’an dan al- Hadist, dan beberapa disiplin ilmu yang mendukung untuk bisa mengenal lebih jauh dua sumber ajaran dimaksud. Karena isi dua sumber ajaran itu mengandung banyak disiplin keilmuan yang ada saat ini, sebenarnya berarti belajar al- Qur’an dan al- Hadist sama seperti belajar semua dispilin keilmuan yang ada.
Hanya Apabila diklasifikasi, yang banyak dipelajari di pesantren adalah produk ideologi Ahlussunnah Waljama’ah, seperti ilmu teologinya Imam Ays’ari dan Al- Maturidzi, fiqih-nya empat madzhab terutama Imam Syafi’ie dan Imam lain yang ikut bermadzhab ke Imam Syafi’ie, dan tasawwuf-nya Imam Ghazali.
Semua materi itu tersaji dalam kitab kuning. Term kitab kuning bukan merupakan istilah untuk kitab yang kertasnya kuning saja, akan tetapi ia merupakan istilah untuk kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam. Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf. Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan akdemisi lebih populer dengan sebutan turats.
Turats secara harfiah berarti sesuatu yang ditinggalkan atau diwariskan. Di dunia pemikiran Islam, turats digunakan dalam khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan oleh para pemikir tradisional. Istilah turats yang berarti khazanah tradisional Islam merupakan asli ciptaan bahasa Arab kontemporer.
Sejarah mencatat bahwa para pembuat kitab kuning atau turats dalam memainkan perannya di panggung pergulatan pemikiran Islam tak pernah sepi dari polemik dan hal-hal yang berbau kontradiktif. Fakta itu adalah bentuk kemajemukan pemahaman agama terlebih masalah akidah. Setelah melakukan pencarian dan kajian yang mendalam para pemikir tidak jarang, masing-masing menemukan konklusi yang berbeda-beda.
Untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu lama. Rata-rata para pendiri pondok pesantren salaf di seantero Pulau Jawa belajar membaca kitab kuning ini secara khusus dengan rentang waktu yang cukup lama dalam bilangan belasan atau bahkan puluhan tahun.
Untuk memahami isi kitab kuning, seseorang harus menguasai Tata Bahasa Arab. Biasanya para santri di lingkungan pondok pesantren salaf membutuhkan waktu dua sampai empat tahun untuk mendalami Tata Bahasa Arab mulai dari Ilmu Nahwu, Ilmu Shorrof, sampai pada tingkatan lebih tinggi lagi seperti Ilmu Balaghah dan Ilmu Mantiq.
Belajar tata bahasa di atas itu, adalah sauatu keniscayaan untuk bisa membaca dan memahami kitab kuning. Di dunia pesantren, kitab kuning merupakan kurikulum yang ditempatkan pada posisi istimewa. Karena, keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus ciri pembeda antara pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.
Secara keseluruhan kitab kuning yang diajarkan dalam pesantren dapat dikelompokkan dalam delapan bidang kajian, yaitu: nahwu dan sharaf, fiqh, ushul fiqh, tasawuf dan etika, tafsir, hadits, tauhid, tarîkh dan balaghah. Teks kitab-kitab ini ada yang sangat pendek, ada juga yang berjilid-jilid. Pengelompokan kitab kuning ini dapat digolongkan dalam tiga tingkat, yaitu, kitab tingkat dasar, kitab tingkat menengah dan kitab tingkat atas.
Selain itu, berdasarkan periode pengarang (mushanif) sebelum atau sesudah abad ke-19 M, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi dua:
1) al-Kutub al-Qadîmah, kitab klasik salaf. Semua kitab ini merupakan produk ulama pada sebelum abad ke-19 M. Ciri-ciri umumnya adalah:
a) Bahasa pengantar seutuhnya bahasa klasik, terdiri atas sastra liris (nadzam) atau prosa liris (natsar).
b) Tidak mencantumkan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru, tanda tanya dan sebagainya.
c) Tidak mengenal pembabakan alinea atau paragraf. Sebagai penggantinya adalah jenjang uraian seringkali disusun dengan kata kitâbun, bâbun, fashlun, raf’un, tanbîh dan tatimmatun.
d) Isi kandungan kitab banyak berbentuk duplikasi dari karya ilmiah ulama sebelumnya. Kitab sumber diperlukan sebagai matan, yang dikembangkan menjadi resume (mukhtashar atau khulâshah), syarah, taqrîrat, ta’liqât dan sebagainya.
e) Khusus kitab salaf yang beredar di lingkungan pesantren si pengarang harus tegas berafiliasi dengan madzhab sunni, terutama madzhab arba’ah. Sedangkan, kitab salaf yang pengarangnya tidak berafiliasi dengan madzhab sunni hanya dimiliki terbatas oleh kyai sebagai studi banding.
2) Kedua, al-Kutub al-‘Ashriyyah. Kitab-kitab ini merupakan produk ilmiah pada pasca abad ke-19 M. Ciri-cirinya, adalah:
a) Bahasanya diremajakan atau berbahasa populer dan diperkaya dengan idiom-idiom keilmuan dari disiplin non-syar’i. Pada umumnya karangannya berbentuk prosa bebas.
b) Teknik penulisan dilengkapi dengan tanda baca yang sangat membantu pemahaman.
c) Sistematika dan pendekatan analisisnya terasa sekali dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan umum pada zamannya.
d) Isi karangan merupakan hasil studi literer yang merujuk pada banyak buku dan seringkali tidak ada keterikatan dengan paham madzhab tertentu.
Secara menyeluruh, biasanya kitab yang diajarkan meliputi sebelas bidang kajian: al-Qur’an, tafsir, hadits, ilmu hadits, bahasa Arab, tauhid atau aqidah, akhlak, tasawuf dan mantiq. Kitab-kitab kuning yang digunakan berdasarkan pola tingkatan. Pada tingkat dasar kitab yang digunakan masih bersifat elementer dan relatif mudah dipahami. Misalnya, ‘Aqîdah al-‘Awwâm (tauhid), Safînah al-Najâh (fiqh), Washâya al-Abnâ’ (akhlak) dan Hidâyah al-Shahibyân (tajwid). Pada tingkat menengah kitab yang digunakan, yaitu: Matan Taqrîb, Fath al-Qarîb dan Minhâj al-Qawîm (fiqh), Jawâhir al-Kalâmiyyah dan al-Dîn al-Islâmî (tauhid), Ta’lîm al-Muta’allim (akhlak), ‘Imrithi dan Nahwu al-Wâdhih (nahwu), al-Amtsilah al-Tashrîfiyyah, Matan al-Binâ’ dan Kaelani (sharaf) serta Tuhfah al-Athfâl, Hidâyah al-Mustafid, Musyid al-Wildân dan Syifâ al-Rahmân (tajwid).
Pada tingkat atas kitab yang digunakan, yaitu: Jalâlayn (tafsir), Mukhtâr al-Hadîts, al-Arba’în Nawâwi, Bulûgh al-Marâm dan Jawâhir al-Bukhâri (hadits), Minhâj al-Mughîts (musthalah hadits), Tuhfah al-Murîd, Husûn al-Hamîdiyyah, ‘Aqîdah Islâmiyyah dan Kifâyah al-‘Awwâm (tauhid), Kifâyah al-Akhyâr dan Fath al-Mu’în (fiqh), Waraqat al-Sulâm (ushul fiqh), Alfiyyah Ibnu Mâlik, Mutammimah, ‘Imrithi, Syabrawi dan al-‘Ilal (nahwu dan sharaf) serta Minhâj al-‘Âbidîn dan Irsyâd al-‘Ibâd (tasawuf atau akhlak). Yang paling menarik, pada pesantren ini kitab al-Munawwarah digunakan sebagai pelajaran mantîq (logika formal), yang berisi logika Aristoteles dan lainya.
Hal lain yang berbeda lagi, dan menjadi ciri khas dari pola pendidikan pesantren salaf adalah penyusunan silabus yang kurang sistematis. Akibatnya akselerasi intelektual santri mengalami hambatan untuk dapat memahami disiplin ilmu keagamaan secara mumpuni dan proaktif.
Untuk sekedar perbandingan, pesantren di India hanya membutuhkan waktu delapan tahun dengan perincian masing-masing jenjang pendidikan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Fadhilat (S-1) ditempuh tiga tahun. Selesai 12 tahun ini santri sudah menguasai Nahwu atau Sharaf, Sastra Arab, kitab Hidayat (al Umm-nya madzhab Hanafi), hadits Kutubus Sittah, plus Muwatha’ Malik, Muwatha Imam Muhammad, dan Thahawi; tafsir Jalalain, dan sejarah Islam dari era Nabi sampai dinasti Muslim India. Kalau santri hendak mengambil spesialisasi (program Master) di bidang tertentu, ia harus menambah dua tahun lagi. Sebagai contoh, bagi yang hendak mengambil spesifikasi tafsir, maka dalam dua tahun tersebut ia akan merampungkan Tafsir Ibnu Kathir, Tafsir Baidhawi, dan ilmu tafsir untuk tingkat advanced (tinggi) yang kemudian diakhiri dengan menulis Tesis. Untuk mencapai tingkat Master santri di India hanya membutuhkan waktu 10 tahun.
Walaupun pelan tapi pasti, melihat perkembangan kurikulum pendidikan pesantren saat ini tidak sekedar fokus pada kitab klasik, tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum dan jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.
Apabila seorang santri telah mengusai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus ujian yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah kepada kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.
Sebagai konsekuensi dari cara penjenjangan di atas, pendidikan pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu atau bidang-bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing pesantren untuk dapat menarik minat para santri menuntut ilmu di dalamnya. Biasanya keunikan pendidikan sebuah pesantren telah diketahui oleh calon santri yang ingin mondok.
Kurikulum Pendidikan pesantren, paling tidak memiliki beberapa komponen, antara lain: tujuan, isi pengetahuan dan pengalaman belajar, strategi dan evaluasi. Biasanya komponen tujuan tersebut terbagi dalam beberapa tingkatan, yakni tujuan pembelajaran, tujuan kelembagaan, tujuan tambahan dan tujuan anjuran atau keharusan. Namun demikian berbagai tingkat tujuan tersebut satu sama lainnya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Komponen isi meliputi pencapaian target yang jelas, materi standart, standart hasil belajar santri, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran. Komponen strategi tergambar dari cara yang ditempuh di dalam melaksanakan pengajaran, cara di dalam mengadakan penilaian, cara dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan dan cara mengatur kegiatan sekolah secara keseluruhan. Cara dalam melaksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku dalam menyajikan tiap bidang studi, termasuk cara mengajar dan alat pelajaran yang digunakan.
Berbeda antara pendidikan pesantren dengan pendidikan agama Islam. Bila disebut pendidikan Pesantren, maka orientasinya adalah sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami yang teori-teorinya disusun berdasarkan alqur’an hadits. Sedangkan pendidikan agama Islam adalah nama kegiatan atau aktivitas dalam mendidikkan agama Islam.
Lebih jelas kurikulum Pendidikan pesasntren sebenarnya adalah bahan-bahan pendidikan agama Islam di pesantren berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja diberikan kepada santri dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan. Kurikulum Pendidikan pesantren merupakan alat untuk mencapai tujuan terbentuknya integritas kepribadian yang Islami. Seperti yang pernah disebut sebelumnya bahwa ruang lingkup materi pendidikan pesasntren adalah: Al-Qur’an dan Hadits, Keimanan, akhlak, Fiqh dan sejarah, dengan kata lain, cakupan Pendidikan pesasntren adanya keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah Swt, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.
Untuk mencapai tujuan Pendidikan pesasntren tersebut, perlu rekonstruksi kurikulum agar lebih riil. Rumusan tujuan Pendidikan pesasntren yang ada selama ini masih bersifat general dan kurang mach dengan realitas masyarakat yang terus mengalami transformasi. Rekonstruksi disini dimaksudkan untuk meningkatkan daya relevansi rumusan tujuan Pendidikan pesasntren dengan persoalan riil yang dihadapi masyarakat dalam hidup kesehariannya.
Prinsip pengembangan kurikulum Pendidikan pesasntren secara umum dapat dikelompkkan menjadi dua, yakni prinsip umum, yang meliputi prinsip relevansi, prinsip fleksebelitas, prinsip kontinoitas, prinsip praktis, prinsip efektifitas dan prinsip efisiensi. Sedangkan prinsip khusus mencakup prinsip yang berkenaan dengan tujuan Pendidikan pesasntren, prinsip yang berkenaan dengan pemilihan isi Pendidikan pesasntren, prinsip yang berkenaan dengan metode dan strategi proses pembelajaran Pendidikan pesantren, prinsip yang berkenaan dengan alat evalusi dan penilaian Pendidikan pesasntren.
c. Metode Pembelajaran
Di dunia pesantren salaf, metode pengajaran materi keagamaan Islam dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
1) Sorogan
Sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual. Sorogan dilakukan saat santri belajar membaca Al Quran dan kitab-kitab kuning. Metode sorogan ini dilakukan dengan cara kiai/ustadz membacakan kitab di hadapan santri, kemudian santri membaca sendiri kitab mereka di hadapan para kiai dan ustadz secara individual. Metode sorogan ini meniscayakan santri belajar mandiri menguasai kitab kuning.
2) Bandongan
Sistem bandongan atau disebut juga wetonan adalah model pembelajaran kolektif. Metode bandongan dilakukan pada pembelajaran klasikal. Cara bandongan dilakukan dengan cara kiai dan ustadz membacakan kitab di hadapan sejumlah santri, kemudian santri menyimak dan mengartikan kitab tersebut dengan bahasa lokal. Metode bandongan tersebut dilakukan saat bulan puasa atau saat pengajian kilat guna mengejar target mengkhatamkan beberapa kitab kuning dengan waktu yang cepat dan singkat.
3) Halaqah
Secara bahasa halaqah artinya lingkaran. Secara istilah halaqah berarti pengajian dimana orang-orang yang ikut dalam pengajian itu duduk melingkar. Dalam bahasa lain bisa juga disebut majelis taklim, atau forum yang bersifat ilmiyah.
Istilah halaqah ini sangat umum di timur tengah, namun di Indonesia umumnya sering dikaitkan dengan pengajian dalam format kelompok kecil antar lima sampai dengan sepuluh orang, dimana ada satu orang yang bertindak sebagai nara sumber yang sering diistilahkan dengan murabbi (Pembina).
Dan biasanya lagi anggota dari halaqah itu adalah orang-orang yang sudah terpilih melalui semacam seleksi. Sehingga selain untuk mempermudah mengkondisikan forum, juga agar suasana yang terbangun lebih kepada model pembelajaran orang dewasa, yaitu sharing saling menyumbang gagasan untuk mencari tau bersama-sama.
4) Bahtsul Masa’il
Suatu metode yang belajar untuk memecahkan masalah secara bersama-sama dalam bentuk diskusi. Hal ini biasanya setiap peserta mencoba menjawab masalah yang sedang dibahas dengan menjadikan sumber dasar ajaran agama dan produk pemikiran ulama’ kontemporer sebagai rujukan/refrensi.
Masalah yang disikapi adalah masalah-masalah sosial apapun yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan menuntut kejelasan hukum. Biasanya juga adalah masalah terkini yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hanya untuk santri di lingkungan pesantren, bahtsul masail menjadi media pembelajaran dan masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan ilmiah untuk memahami kitab-kitab kuning.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kitab-kitab kuning yang diajarkan di dunia pesantren cenderung bernalar bayâni dan ‘irfâni, yang disampaikan dengan menggunakan metode pengajaran yang bercorak bayâni. Misalnya, materi tasawuf. Lain dengan materi mantiq, yang materinya bercorak burhâni, namun diajarkan secara bayâni. Oleh karena itu, adalah keliru apabila ada anggapan bahwa setiap materi bernalar bayâni diajarkan secara bayâni atau materi bernalar ‘irfâni diajarkan secara ‘irfâni atau materi bernalar burhâni diajarkan secara burhâni. Yang terjadi di pesantren, adalah baik materi bernalar bayâni, ‘irfâni maupun burhâni tetap diajarkan secara bayâni.
d. Fasilitas Dan Perangkat Pembelajaran
Pada umumnya komplek pesantren terdiri dari rumah kiai, masjid, surau dan musholla, pondok tempat tinggal santri, dan ruangan belajar. Di tempat itu pula mereka belajar dengan cara berkesinambungan. Pada saat-saat tertentu kadang harus belajar di rumah pengasuh, dan di saat yang lain harus pula belajar di langgar dan surau, masjid, dan atau di gedung lokal untuk belajar.
Dulu pembalajaran santri berpusat di rumah pengasuh. Yaitu belajar membaca dan mengkaji al- Quran yang. Kadang ditambah dengan pengajian kitab kuning yang berkonsentrasi pada fikih madzhab Imam Syafii. Setelah beberapa bulan jumlah santri bertambah, baik dari dalam desa maupun luar desa. kemudian santri yang berasal dari luar desa menetap di rumah pengasuh. dari beberapa santri yang menetap itu, semakin hari semakin bertambah. Akhirnya karena jumlah santri yang bertambah banyak, maka didirikanlah pondok pesantren. Lebih lanjut, surau dan masjid dijadikan pula sebagai pusat pembelajaran santri. Dan tidak sedikit pula pesantren yang secara khusus mendirikan gedung untuk tempat belajar santri, seperti pesantren yang banyak kita lihat saat ini.
Selain perangkat gedung, fasilitas pembelajaran pendidikan pesantren yang lain sangat sederhana, umumnya belum menyentuh perangkat tehknologis-modern yang banyak digunakan lembaga umum dasawarsa ahir ini.
Sesuai perjalanan dan perkembangannya, kecenderungan fasilitas dan perangkat pendidikan di pesantren salaf selalu tercipta perbaikan dari masa ke masa, dan oleh beberapa tokoh dinamisasi itu diklasifikasi menjadi :
1) Pondok pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kiai. Pesantren ini sangat sederhana, dan pada umumnya berada pada tingkat permulaan berdirinya pondok pesantren. Para kiai menggunakan masjid atau rumahnya sebagai tempat para santri belajar.
2) Pondok pesantren yang memiliki masjid, rumah kiai, dan asrama tempat tinggal santri.
3) Pondok pesantren yang selain memiliki komponen pondok pesantren tradisional tersebut di atas, juga mempunyai fasilitas gedung berjenjang sesuai tingkatan sebagai tempat pembelajaran.
4) Pondok pesantren yang telah memiliki komponen-komponen pondok pesantren pola ketiga, juga mengembangkan pendidikan keterampilan seperti, peternakan, kerajinan rakyat, koperasi, sawah, dan ladang
e. Legitimasi Masyarakat Dan Negara Terhadap Para Alumninya
Hingga saat ini, alumni pendidikan pesantren salaf kurang mendapat pengakuan sama dari pemerintah dengan alumni pendidikan formal dan atau alumni pendidikan pesantren yang menganut sistem formal. Hal ini ditandai dengan beberapa kenyataan, diantaranya :
1) Lulusan pesantren salaf tidak mempunyai ijazah (bukti tanda kelulusan) yang diakui secara sah oleh pemerintah. Sehingga upaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sama seperti lulusan pendidikan formal, sama sekali tidak punya kesempatan.
2) Kesempatan menjadi abdi negara-pun juga menjadi tidak bisa. Karena rekrutmen formasi apapun melalui lamaran calon pegawai negeri sipil, termasuk guru dan TNI-POLRI saratnya harus mempunyai ijazah sah yang diakui oleh pemerintah.
3) Masyarakat umum kemudian menjadi antipati untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren salaf. Padahal pesantren salaf yang menjadi ciri khas pendidikan nenek moyang masyarakt Indonesia, penting untuk terus dilestarikan. Selain karena budaya luhur warisan nenek moyang, produk lulusan pesantren juga bisa menyeimbangi produk lulusan pendidikan lain. Ikut terlibat memberi warna profesi yang ada, minimal sebagai penjaga moral anak bangsa ke depan.
Karenanya tuntutan terhadap pemerintah agar sistem pendidikan pesantren salaf direvitalisasi mengemuka dalam pembukaan Silaturrahim Pengasuh Pondok Pesantren se-Indonesia dalam acara Rapat Kerja Nasional Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) di Jakarta. Menurut KH Mahmud Ali Zein, pemerintah perlu serius dalam menangani pesantren. Karena itu, kebijakannya harus menyeluruh, tidak diskriminatif, dan tetap menghargai independensi pesantren.
Selama ini, para santri yang mengkhususkan diri belajar agama di pesantren salaf, ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah. Peminggiran ini jelas merugikan para santri. Padahal, kemampuan dan pemahaman mereka tentang agama tidak kalah dengan para siswa atau mahasiwa yang belajar di sekolah atau perguruan tinggi Islam yang dikelola pemerintah.
BAB IV
PP 55 2007 DAN UPAYA REVITALISASI PENDIDIKAN PESANTREN

A. Motiv Dikeluarkannya PP 55 2007
Angin segar diterbitkannya PP 55 2007, tidak lepas dari perjalanan panjang pasang surut keberpihakan kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Melihat jauh ke belakang secara runut, undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 2 tahun 1989, memposisikan pendidikan keagamaan sebagai pendidikan luar sekolah (PLS) sama dengan pendidikan umum, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan. Lebih rinci penjabaran tentang pendidikan luar sekolah diatas tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) nomor 73 tahun 1991. Konsekwensi logis dari kebijakan itu, jelas menjadikan lembaga keagamaan tidak dapat perlakuan sejajar dari pemerintah, terutama dalam hal hak untuk mendapatkan anggaran.
Kondisi itu berubah seiring disahkannya undang-undang system pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Amanat mendasar yang menjadi inti perubahan adalah isi pasal 15 UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Lebih lanjut isi Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3), UU Sisdiknas 20 2003, mengamanatkan perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Karena mengingat pentingnya penjabaran lebih rinci, untuk mempermudah pelaksanaan secara tekhnis sebagai panduan di lapangan, maka tepatnya pada tanggal 5 Oktober 2007, Produk Hukum yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, ditetapkan oleh pemerintah yang dalam pengelolaannya sesuai dengan PP 55 2007, Pasal 9 ayat 3, dilakukan oleh Menteri Agama.
Akan tetapi secara terselubung, analisa dari banyak tokoh dan opini yang mengemuka pasca terbitnya PP dimaksud menuai hasil yang beragam, tentu dilihat dari sudut pandang yang beragam pula. Dari kacamata ekonomis, hingga sudut pandang politis. Semoga subjektifitas dari pandangan masing-masing kelompok itu akan melahirkan objektifikasi yang bisa diterima oleh banyak kalangan.
Mengutip hasil analisanya Nur Hidayat mengomentari lahirnya PP 55 2007 ini, menurutnya adalah bagian dari produk politik. Karena kebijakan apapun yang keluar dari pemerintah tidak bisa dilepaskan dari agenda dan kepentingan penguasa. Biasanya hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekadar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan.
Sejarah telah membuktikan bahwa peran pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah hal yang utama dan pertama dari keseluruhan peran yang ada, selain sebagai lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya.
Dalam konteks inilah pesantren harus menghitung secara cermat segala konsekuensi dari implementasi PP 55 2007. Saat ini kita belum tahu apakah peraturan tersebut bakal baik atau tidak bagi eksistensi pesantren di masa depan. Akankah mendorong pengembangan peran pesantren secara optimal atau justru mereduksi perannya sekadar sebagai lembaga pendidikan. Lebih parah lagi perannya sebagai lembagaa pendidikan dikendarai untuk penguatan kepentingan penguasa.
Pesantren memang mempunyai potensi besar untuk menjadi rebutan penguasa dan atau kelompok elit yang ingin berkuasa. Selain simbol Islam yang melekat pada diri pesantren, juga karena kuantitas pesantren yang begitu banyak bertebaran di nusantara ini dengan basis massa-nya yang mudah diarahkan hanya dengan kekuatan pengaruh dan kharisma kiai-nya. Kepentingan pengerahan massa ini, sesuai dengan konteks pemilihan saat ini, yaitu pemilihan langsung di setiap moment pemilihan apapun terutama pemilihan presiden. Mungkin saja bentuk pengayoman pemerintah melalui kebijakannya, berharap bisa dapat timbal balik jasa agar dapat dukungan dari kalangan pesantren terutama kiai-nya. Atau minimal mewacananya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa pemerintah saat ini peduli terhadap pesantren.
Selebihnya yang mungkin akan menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang, adalah ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan eksekusi kewenangan pemerintah serta birokratisasi dan intervensi kurikulum pesantren. Terkait dengan hal ini, biasanya Negara akan menempuh segala cara untuk terus mengontrol berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang berkembang dalam masyarakatnya. Memperketat birokrasi, memperbanyak peraturan perundang-undangan, mendikte kurikulum, menerapkan sistem akreditasi, dan membuat skema subsidi merupakan beberapa cara yang sering digunakan oleh negara dalam upaya mengontrol aktivitas pendidikan masyarakat.
Kontrol negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui empat cara, diantaranya :
1. Sistem pendidikan diatur secara legal.
2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas.
3. Penerapan wajib pendidikan.
4. Reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu.
Kehawatiran yang muncul kemudian, bagaimanakah eksistensi pesantren dalam konteks politik saat ini. Dalam konteks global, eksistensi pesantren sempat menjadi perbincangan hangat menyusul maraknya aksi teror di berbagai belahan dunia. Ketika Bom Bali yang konon dirancang Amrozi cs meledak pada tahun 2002, pesantren pun sempat dicurigai sebagai sarang teroris. Diduga, dalam kaitan itu pulalah banyak Negara asing sekuler menjanjikan bantuan pendidikan kepada pemerintah Indonesia. Meski menyatakan tidak ingin melakukan intervensi kurikulum, tapi secara terselubung saat itu berharap pendidikan Indonesia dapat meredam potensi radikalisme.
Dalam konteks nasional, upaya pemerintah untuk melakukan pendekatan dan menjalin hubungan yang harmonis dengan pesantren, bisa jadi dioreintasikan untuk mencari dukungan massa dalam rangka memperkuat dan memperpanjang masa kepemiampinan penguasa saat ini.
Dan dalam konteks lokal, penyelenggaraan pendidikan seharusnya merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah seiring penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Tetapi, dalam praktiknya, pendidikan merupakan sektor yang paling alergi terhadap penerapan desentralisasi. Pemerintah justru menjadi pelopor lahirnya berbagai kebijakan bernuansa soft centralization, seperti kebijakan ujian nasional dan penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi.
Lebih lanjut kemudian, penerapan PP 55 2007 akan membuat pesantren berada di simpang kepentingan antara pemerintah pusat, propensi, dan pemerintah daerah sebagai pemilik sah kewenangan atas penyelenggaraan pendidikan.
Respons kalangan pesantren terhadap PP 55 2007 tidak bisa dilepaskan dari ketiga aras kepentingan tersebut. Artinya, akomodasi pemerintah terhadap keberadaan pesantren dalam sistem pemerintah tetap harus dibaca secara kritis dan objektif. Tanpa sikap kritis, pesantren akan terjebak skenario penjinakan yang memicu polarisasi di kemudian hari. Di sinilah keluwesan pesantren dalam merespons perubahan dan tantangan zaman kembali diuji. Dengan prinsip slogan pesantren yang sempat disebut sebelum ini "menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik", kalangan pesantren dituntut merumuskan strateginya sendiri dalam merespons peluang yang penuh dengan ranjau politik ini.
Dalam kaitan ini, kalangan pesantren perlu duduk bersama untuk merancang visi bersama tentang format masa depan pesantren yang ideal tanpa terjebak hegemoni atau semangat konfrontasi. Dengan kondisi kita saat ini, tentu kalangan pesantren merasa kesulitan dari manakah langkah besar itu harus dimulai. Setidaknya kalangan pesantren perlu melakukan respon antisipatif demi menjaga karakteristik dan cirri khasnya, karena menurut Aceng Abdul Azis, peraturan tersebut sarat dengan rencana formalisasi kelembagaan, serta sentralisasi manajerial yang berpotensi mereduksi kemandirian lembaga pendidikan Islam.
Selain itu lanjut Aceng, pemerintah hendaknya tetap menjaga karakteristik asli madrasah atau pesantren yang selama ini telah berkembang optimal di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, operasionalisasi PP 55 2007 hendaknya tetap menampung aspirasi para penyelenggara pendidikan Islam sehingga tidak melahirkan kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif.
Regulasi pemerintah diharapkan makin positif bagi proses pemberdayaan pendidikan pesantren, dan berupaya memberikan jalur-jalur alternative bagi peningkatan mutunya. Keluarnya PP 55 2007 merupakan prestasi politik pendidikan yang harus mendapatkan apresiasi dari para penyelenggara pendidikan Islam. Oleh karena itu, sebaiknya PP tersebut segera disosialisasikan kepada masyarakat agar mendapatkan respons yang akan menjadi pertimbangan Departemen Agama dalam menyusun kebijakan pendidikan ini.
Pendidikan Islam memang sangat membutuhkan perlakuan khusus, setelah terlalu lama ditinggalkan pemerintah. Akan tetapi implementasi kebijakan pendidikan Islam hendaknya seiring dengan keinginan masyarakat. Semoga diterbitkannya PP 55 2007 adalah bagian dari perhatian khusus dari pemerintah dan menjadi keinginan dari masyarakat secara umum.
Motivasi terselubung lainnya, adalah karena keinginan suci pemerintah untuk memperlakukan sama antara berbagai model pendidikan yang ada. Terlebih penerimaan hak dan kewajiban yang perlu didapat dari pemerintah, baik yang bersifat material dan non material. Karena fakta selama ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau tidak, secara filosofis sebenarnya pendidikan pesantren sama saja dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak bangsa menjadi insan paripurna atau menjadi warga Negara yang baik, sama seperti lembaga pendidikan umum lainnya.
Sikap itu, adalah merupakan langkah pemerinatah untuk menebus dosa atas marginalisasi yang dilakukan terhadap pesantren selama ini. Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta. Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala.
Sekarang negara harus menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan, sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa.
Aktualisasi PP 55 2007 ke depan akan menunjukkan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Peraturan ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan.

B. Sasaran Revitalisasi PP 55 2007
Sejujurnya yang menjadi target revitalisasi pendidikan sesuai amanat PP 55 2007 ini, adalah pendidikan keagamaan dari semua agama yang ada di nusantara ini. Pendidikan keagamaan ini, diasumsikan sebagai kreasi budaya nenek moyang kita, wujudnya sangat orisinil, ansih sebagai bentuk pendidikan berbasis masyarakat. Pendidikan ini tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Proses Penyelenggaraannya bisa melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Lebih jelas berikut nama model pendidikan keagamaan dari lintas agama yang ada, antara lain :
1. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
2. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
3. Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
4. Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
5. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
6. Shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
Lebih spesifik lagi sesuai dengan kajian tulisan ini, sasaran yang akan direvitalisasi oleh peraturan pemerintah ini meliputi tiga model pendidikan yang dalam hal ini dibahas dari pasal 14 sampai dengan pasal 26. Beberapa pasal itu dikelompokkan menjadi tiga paragrap,
1. Membahas masalah pendidikan diniyah formal
2. Membahas pendidikan diniyah nonformal
3. Mengatur masalah pesantren.

C. Isi Rekomendasi PP 55 2007
Tela’ah lebih rinci terhadap keseluruhan isi PP 55 2007, perlu diklasifikasi lebih jelas lagi beberapa pasal yang isinya bermuatan untuk merevitalisasi pendidikan pesantren. Klasifikasi rincian itu diantaranya;
1. Kesempatan untuk dapat bantuan sama seperti lembaga pendidikan lain.
Rekomendasi ini mengacu kepada, PP 55 2007, Pasal 12 ayat 1, isinya adalah “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan”.
Penjelasan dari pasal ini adalah, “Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan”.
Ke depan posisi pesantren salaf akan berdiri sejajar dengan lembaga pendidikan lain. Tidak ada alasan untuk menganak tirikan pesantren lagi. Hak yang akan didapat pesantren dari pemerintah terutama dalam hal finansial akan sama seperti hak yang didapat oleh pendidikan umum. Terlepas apakah hak finasial itu dari pemerintah daerah, propensi maupun pemerintah pusat.
Empat unsur penting isi dari rekomendasi pasal di atas, yang kemungkinan ke depan akan terberdayakan, diantaranya :
a. Pendidik
b. Tenaga Pendidikan
c. Dana
d. Sarana dan prasarana
2. Pengakuan yang sama pelajar di pesantren dengan di lembaga pendidikan lain
Penyamarataan posisi ini, sesuai dengan isi Pasal 11, tiga ayat sekaligus, ayat 1, 2, dan 3. Isisnya adalah :
Ayat 1, Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
Ayat 2, Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ayat 3, Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
Angin segar keleluasaan santri di kalangan pesantren untuk bisa berinteraksi dan bersinergi atau bahkan berkompetisi dengan pelajar dari lembaga pendidikan lain, akan benar-benar dirasakan oleh semua santri ke depan sesuai dengan janji yang tersurat dalam tiga pasal di atas.
Tiga point penting yang mengangkat posisi santri menjadi sederajat dengan kalangan pelajar lain, adalah santri yang sedang menempuh sekolah di pesantren bisa pindah ke lembaga pendidikan lain yang sejenjang, dan lulusan pesantren ke depan juga bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang di atasnya di luar lembaga pendidikan pesantren dengan status sah dan diakui oleh pemerintah.
Kemungkinannya juga out put lulusan pesantren ke depan mempunyai hak yang sama untuk merebut dan bersaing untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Termasuk berebut menjadi abdi negara di lingkungan lembaga dan kedinasan milik pemerintah.
3. Pengakuan yang sama Pendidik di pesantren dengan di lembaga pendidikan lain
Pengakuan yang sama anatra pendidik di pesantren dengan di lembaga lain, diatur sesuai denagan Pasal 26, Ayat 1, isi ayat itu adalah “Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.
Sinergi antara pelajar di pesantren dengan di luar pesantren-pun akan tercipta karena lulusan pesantren yang layak juga bisa mengajar di lembaga pendidikan luar pesantren. Tentu begitu juga sebaliknya. Ada simbiosis mutualis, saling mengisi beberapa kekurangan yang ada. Pola managerial yang bagus. Bangunan sistem yang menciptakan begitu pentingnya arti kebersamaan. Dikotomi dan ego dari masing-masing model kelembagaan pendidikan yang ada, besar kemungkinan ke depan juga akan terminimalisir
4. Karakter & kekhasan ciri pesantren akan tetap dijaga.
Pasal 12, ayat 1 berisi tentang jaminan penjagaan dan perlindngan terhadap karakter dan ciri khas pesantren. Bunyi pasal itu, adalah “Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional”.
Kekhawatiran banyak tokoh yang pesimis disahkannya PP 55 2007 ini, bakal akan mereduksi karakter dan ciri khas pesantren akan terjawab oleh isi pasal 12 ini, yang menyuratkan perlindungan penuh dari pemerintah. Melihat pelaksanaan pendidikan pesantren selama ini, hal-hal yang prinsipil-pun tidak ada yang bertentangan dengan produk hukum pemerintah apapun namanya. Bahkan berjalan seiring dengan tujuan suci pendidikan nasional kita.
Kalaupun ada sedikit pergeseran itu wajar, sebagai konsekwensi logis dari perberlakuan peraturan baru. Dan pergeseran itupun menjadi keniscayaan sebagai upaya perbaikan model pendidikan pesantren agar tidak stagnan – itu-itu saja – yang terkesan jalan di tempat. Tuntutan zaman saat ini-pun sepertinya meminta agar pesantren beserta lulusannya bisa berdiri sejajar dengan lulusan dan lembaga pendidikan lainnya.
5. Menjanjikan terjadinya harmonisasi antar pelajar lintas pemeluk agama
Ayat 1, Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
Ayat 2, Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
Sikap optimisme akan terjalinnya hubungan yg harmonis antar pelajar lintas agama ke depan, dijanjikan oleh isi Pasal 5 ayat 1 dan 2. Bunyi ayatnya :
Pembangunan mental sebenarnya adalah hal terpenting dari tujuan pendidikan. Dan diutusnya nabi Muhammad-pun sebenarnya hanya untuk menyempurnakan akhlak ummatnya. Kesempurnaana akhlak akan tercipta bila mempunyai kecerdasan mental.
Beberapa bukti riil cerdas secara mental adalah mempunyai sikap berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. Dan bukti tertinggi adalah bisa menjalin hubungan harmonis dengan orang lain. Terlepas apakah mereka itu pemeluk satu agama atau pemeluk agama lain.
Dengan harmonisasi hubungan, kedamaian akan tercipta. Suatu keadaan yang pasti diinginkan oleh semua orang. Semuanya akan terasa indah dengan kedamaian. Sekaligus hal ini akan menepis klaim dan opini selama ini, yang menganggap pesantren sebagai sarang teroris.